Karena masa depan itu sungguh nyata ...dan harapanmu tidak akan hilang!

Thursday, June 20, 2024

Limapuluh Enam, 56!

When you reach 56, you feel grateful. Bayangin, generasi gw udah mendiami bumi selama 56 tahun. Mengalami masa-masa sebelum ada internet dan sesudah ada internet. Percayalah, generasi transisi adalah generasi yang paling beruntung. Dan mungkin juga generasi yang paling banyak nyeselnya, haha... 

Nyesel, kenapa ga dari dulu aja bisa kayak gini dan nyesel juga kenapa barang2 yang dulu pernah ada enggak kita simpen sebagai kenang2an. Ya kan... banyak yang merasa barang2 yg udh out of date tersebut menuh2in kamar atau rumah aja, jadi dengan segera kita singkirkan, pas lagi semangat2nya pembaharuan, padahal setelah pembaharuan itu berjalan maksimal, ternyata nostalgia tentang masa sebelumnya merasuki hati dan pikiran kita kembali, dan seharusnya memang bisa saja dihybridkan dengan masa kini. 

Kalo kamu termasuk mereka yang berhasil menghybrid masa sebelumnya dan masa sekarang, maka keberuntunganmu sebagai generasi transisi, sungguh maksimal! 

When you reach 56, you feel, life is so short ya ternyata! Tau2 udah umur pertengahan lima puluhan lewat sedikit dan empat tahun yang akan datang bakal masuk kategori lansia. Astoge, how time flies! Dan sebelum masuk masa lansia, kira2 apa yang akan kita lakukan? 

Buat yang merasa ada hal2 yang belum kesampaian, mungkin ini saatnya untuk punya alasan untuk mencapainya sebelum lo menyentuh 60an. Kita semua kudu punya kesempatan untuk menciptakan alasan-alasan yang bisa menjadi motivasi untuk menghidupkan kembali mimpi2 lama kita. Ga ada salahnya kan? 🤗

When you reach 56, you feel so much freedom. Karena udah lumayan banyak makan asam garamnya kehidupan, akhirnya jadi tahu apa yang berarti bagi kita dan apa yang tidak. Di situ ada kebebasan untuk memperdulikan mereka yang penting dan mengapresiasi apa yang ada dalam hidup kita. Juga saat mengalami sesuatu yang baik atau pun yang buruk, berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah kita tahu bahwa semuanya ada akhirnya. 

Iya, apa yang ditulis di Ecclesiastes 3 tentang A Time for Everything itu, bener banget. Ada masa-masanya untuk segala sesuatu itu. Ada gunung dan ada lembah, ada tanah datar ada tanah bergelombang, ada daratan ada sungai dan lautan, ada pesisir, ada hutan, ada padang gurun dan ada oase, ada musim hujan dan kemarau, ada masa2 kelimpahan dan masa2 kekurangan, ada kebahagiaan dan ada kesedihan. Hidup ini memang seperti asap, kamu tidak pernah bisa menggenggamnya. 

Dan... life goes on, with or without you. Itu bukan hal yang menyedihkan sih 🤭 Gw malah merasa terbebani kalo hidup bergantung sama keberadaan gw 😅 Hiduplah sepenuh2nya, karena itu akan selalu lebih dari cukup. Jadi, selamat menempuh masa hidup ke 56!


Sunday, June 16, 2024

Kemurahan Hati, Adalah Anugerah

Hari minggu ini gw belajar banyak. Tentang anugerah. Bahwa yang namanya berkat itu, nggak cuma ketika hidup kita jadi makmur dan segala sesuatu dilancarkan. Itu udah jelas memang berkat banget lah ya dan wajar kalau semua manusia maunya mengalami masa2 tersebut sepanjang kehidupannya. Tapi, orang2 yang ketika mereka ga punya lebih dari cukup namun tetap bisa memberi dari kekurangan mereka, yang bisa tetap murah hati ketika kehidupan mereka sendiri pas2an atau bahkan kekurangan, itu adalah orang2 yang dipenuhi oleh anugerah Tuhan. 

Mungkin, mereka memperoleh pencerahan yang luarbiasa, sehingga cahaya kemurahan Tuhan itu tak terbendung menerobos dan membebaskan mereka untuk melakukan perbuatan2 baik yang menyenangkan hati Tuhan, yang dikehendaki Tuhan untuk mereka lakukan.

Karena begitu besarnya anugerah Tuhan, memampukan mereka untuk memberikan dengan sukarela. Itu yang dilakukan oleh masyarakat di Makedonia. Bukan cuma sukarela, mereka bahkan mendesak untuk diberikan kesempatan mengambil bagian dalam memberikan pertolongan. Kemampuan itu melampaui akal dan pikiran manusia sih... Kita kalo berkekurangan pasti mikir banget untuk menyumbangkan sesuatu. Makanya kemampuan untuk dengan sukarela, dengan gampangnya ngasih tanpa memikirkan kesulitan sendiri, ngasih dengan begitu enteng seakan hidup ini ga ada berat2nya, itu bener2 supranatural.

Orang2 yg baik hati, murah hati, mungkin akan lebih mudah kita temukan ketika mereka punya berlebih. Atau, lihat diri kita sendiri aja deh.. Saat melihat begitu banyak masalah di dunia ini, kita bakal berpikir seandainya gw punya duid sekian2 gw bakal nyumbang untuk ini itu dstnya. Kepikiran nggak untuk just do it saat ini juga di saat kita hanya punya sekedarnya saja? Kepikiran nggak untuk setiap bulan sisihkan saja sebagian untuk nyumbang ini dan itu sesuai niat kita tanpa menunggu punya uang berlimpah2? Kalau iya, itu adalah anugerah. Kemampuan untuk melakukan hal itu, bukan berasal dari diri kita sendiri, melainkan berkat dari Tuhan.

Berbahagialah orang yang murah hatinya karena mereka akan memperoleh kemurahan. Diberkatilah orang yang berbelaskasihan, karena mereka akan diberikan belaskasihan. Sungguh diberkati Allah orang yang mengasihani orang lain, karena mereka akan dikasihani Allah. -- Markus 5:7

Renungan kecil saja setelah mendengarkan kotbah minggu ini dari pendeta Ruth (ibadah pagi) dan pendeta Betty (ibadah sore). Ibadah paginya gw nonton streaming live di youtube karena nyokap main kolintang dan nyanyi di PS PKLU (lansia) dan sorenya gw ikut ibadah tatap muka, karena gw bertugas jadi pemandu lagu.



Saturday, June 15, 2024

Menjadi Bagian dari Penonton Drama Korea 1

Siapa sih yang enggak tau gimana industri hiburan kini dikuasai oleh Korea, dalam hal ini Korea Selatan ya yang ibukotanya di Seoul bukan  Korut yang ibukotanya di Pyongyang. Semua juga tahu, siapa-siapa saja artis paling terkenal mereka, film seri mereka yang selalu jadi pembicaraan, lagu-lagu mereka yang ngeheits dan fans garis keras mereka yang bener-bener militan itu. 

Bagi gw dan nyokap, perlu kena pandemi dulu selama 2 tahun kemudian terjadi empty-nest selama beberapa tahun belakangan ini, membuat kami memutuskan untuk berjuang bersama-sama mengisi jam panjang di rumah yang lebih sepi, dengan menonton drama korea.

Demikianlah sejarah singkat bagaimana, akhirnya, kami terjun (bukan terjerumus ya, karena secara aktif dan sadar kami melakukannya) ke arus utama jaman now, bergabung dengan mereka-mereka yang sudah sejak lama lebih duluan hanyut dalam arus yang deras itu. Ternyata, menyenangkan! Drakor, selain lebih banyak asian value-nya, tentu saja, juga menyadarkan gw bahwa sebenernya film2 kita bisa aja seperti mereka juga. Kisah2 mereka kebanyakan kisah lokal, tapi bisa ngeheits gitu, ya karena kisah2 yang mereka angkat digarap dengan sangat baik.

Sebagai penggemar C-Drama, terutama yang ada sejarah2nya gitu, maka awal menonton film K-Drama pun kami memilih untuk nyari yang sejarah juga. Setelah beberapa kali nonton yang sejarah akhirnya mulai coba2 nonton dramanya yang modern. Syukurlah bahwa dua drama modern yang gw tonton adalah Reply 1988 dan Descendant of The Sun.

Keduanya menghilangkan tembok2 penghalang yang membuat ragu2 mau nonton drakor. Gw pernah sih nonton drakor, Full House, yang entah kenapa kok gw kesel ya, karena menurut gw hubungan mereka itu toxic, lakinya agak2 abusive 😅 Mungkin orang lain punya pendapat atau kenangan berbeda tentang serial itu, tapi itulah kenangan gw, dan belum pernah nonton ulang untuk bisa meninjau kembali, dan bisa mengubah kesan tersebut. Tapi.. males ah, mendingan nonton yang sudah ada sekarang, banyak pulak 😌🙄

Karena kebanyakan drama2 yang gw tonton adalah drama termodern, jadi biasanya episodenya cuma 16-an deh. Sepertinya memang yang paling pas ya segitu. Ceritanya ga molor2, dan ga kepaksa2 untuk dipanjang2in dibandingkan dengan kebanyakan drama tahun2 sebelumnya yang sampe puluhan episodenya... huhuhu... klo itu drama sejarah, okelah, apalagi kalau menceritakan tentang sejarah lintas waktu yang cukup panjang, malah asik nontonnya. Tapi, kalo drama percintaan? Huhuhu... ga karu2an jadinya, mungkin karena saat kehabisan ide yg masuk akal, harus dibikin aja ceritanya jadi ga masuk akal 😅

Eniwei, apapun resep yang dipakai oleh industri kreatif Korsel, mereka betul2 berhasil mencuri atau lebih tepatnya merampas panggung perfilman dan musik dunia dari penjajahan holiwutnya Amerika Serikat. 

Untuk sementara sampai di sini dulu deh.. Gw jd berpikir, gw harus nonton ulang Desecendant of the Sun dan Reply 1988 dan menceritakannya di sini sebagai bagian dari kisah ini. 😅

Friday, June 14, 2024

Prokantor dan Keraguan Yang Harus Dikalahkan

Ada yang tahu apa itu prokantor? Bagi kalian yang bergereja di GPIB atau GKI mungkin ga terlalu asing dengan istilah itu. Sedangkan bagi yang bergereja di gereja2 kharismatik seperti GBI, akan lebih familiar dengan istilah song leader atau pemimpin pujian. 

Iya, prokantor adalah pemandu lagu atau pemimpin pujian. Tugasnya ya menyanyi bersama2 dengan jemaat, memandu jemaat terutama jika lagu2nya baru. Nah, untuk jadi prokantor sebenarnya bukan cukup punya suara bagus, tetapi punya kemampuan untuk menyanyikan lagu rohani dengan benar.

Saat pertama gw jadi prokantor, umur gw baru 20 sekian. Saat itu baru gw sadar bahwa hey I can sing, not bad. Cukup okelah untuk komunitas kecil di gereja, ketika itu. Kemudian ada masa dimana gw nggak jadi prokantor lagi karena saat itu katanya prokantor harus sekalian menjadi dirigennya di depan jemaat. Jadi gw langsung memutuskan untuk tidak lagi melayani sebagai prokantor sebab gw ga yakin bisa melakukan hal itu. Ternyata, wacana prokantor sekaligus dirigen itu hanya sempat terwujud sebentar aja, trus nggak dilakukan lagi.

Setelah vakum selama sekian tahun, (ada kali 12-an tahun ya? Atau lebih? Ga terlalu inget lah gw... kayaknya sejak 2006 itu gw udh ga jadi pemandu lagu lagi, seinget gw ya... jadi mungkin 17-18 tahunan lah) tahun 2024 ini nama gw dimasukkan lagi sebagai salah satu petugas pemandu lagu. Di umur yang udah 50an tahun, berasa banget suara yang sudah lama ga dipakai untuk konsisten nyanyi, memang nggak lagi stabil seperti saat awal-awal dulu. Tapi sekarang, gw belajar untuk tidak terlalu ambil pusing soal apakah suara gw keluarnya bagus atau nggak, tapi lebih ke, gimana gw bisa menyanyikan lagu rohani itu dengan baik.

Sebagai seorang yang ga pernah pede maju ke depan dan merasa grogi ditatap oleh berpasang2 mata, sebenarnya memang adalah perjuangan batin setiap kali bertugas, sehingga kadang ada rasa menyesal juga kenapa mau jadi prokantor lagi sih 😅 Tapi belakangan ini gw menyadari inilah yang namanya peperangan itu sebetulnya adalah dengan diri sendiri. Kenyataannya nggak ada orang yang ngejudge. Gw juga ga pernah ngejudge rekan prokantor lain kala mereka bertugas. Dan ga ada juga syarat suara harus sekelas Celine Dion misalnya 😅 Semua hanya bersuara bagus, bisa menyanyi, menguasai lagu2 yang akan dinyanyikan saat beribadah sehingga bisa ikut menjadi penunjang pelayanan dalam ibadah. Dan itu sudah mencukupi. Jadi, sebetulnya, masalahnya apaaa??? Ya nggak ada. Masalah hanya diri sendiri yang sering dihinggapi ketakutan dan keraguan yang ga beralasan.

Satu hal yang jelas, agar bisa memandu lagu dengan baik, tentu saja diperlukan latihan yang serius juga. Karena sebetulnya nyanyian adalah bagian penting dalam sebuah ibadah kristen. Dikatakan Tuhan berdiam/bertakhta di atas puji-pujian. Nah puji2an ini ya termasuk lagu2 itu. 

Katanya sih, ada rencana akan diadakan latihan khusus untuk para pemandu lagu, bersama dengan para musisi/pengiring. Dan lagu2 yang akan dinyanyikan juga akan dirilis sebulan sebelumnya, sehingga bisa dipelajari jauh2 hari. Kalau sekarang, rilis lagunya setiap hari Kamis. Lumayan sih, ada waktu 3 hari berlatih jika ada lagu2 yang baru, dan sekarang2 ini banyak lagu barunya 😌 Nah, itu. Satu lagi masalah gw, ga cepat dalam belajar lagu. Tapi, syukurlah sekarang mulai terbiasa nyanyi lagi, jadi nggak sulit2 amat rasanya. Lagipula, kudu selalu melafalkan ayat ini dalam hati, "I can do all things thru Christ, who strengthen me." 

Sejauh ini, gw mulai bisa menepiskan keraguan, kebimbangan, ketakutan dan belajar merengkuh tugas pelayanan itu dengan sukacita. 

Ya, bersukacitalah sebab Tuhan itu baik. Aku mau bermazmur, bernyanyi dan menaikan puji2an untuk memuliakan namaNya, selama2nya. 


Thursday, June 13, 2024

Apa kabar?

Tiga belas Juni.

Sudah betul2 pertengahan tahun. Masa-masa pilpres sudah berlalu, tapi gaungnya masih keras terasa lewat perbincangan di media sosial. Terutama twitter. Setidaknya, yang saya ketahui, karena saya buka twitter setiap hari. Kadang2 ikut ngetuit juga, nimbrung komentar di postingan orang yang kebetulan topiknya menarik. Oh baidewei, sekarang nama platform itu sudah bukan Twitter lagi, melainkan X, karena sudah dibeli Elon Musk dan dia ganti jadi X, semacam variable X gitu kali ya, yang akan menentukan jumlah total ketika diketahui atau diberikan nilainya. 

Entah karena apa, saya memutuskan untuk kembali menulis di blog. Iya, kembali ngeblog di gratcianulis yg sebentar lagi bakalan saya pakaikan dot com lagi deh, supaya lebih representatif gitu ya 🤗

Dan apa yang akan saya tulis di blog ini? Macam2. 

1. Seni. Karena saya tertarik dengan menggambar dan melukis (cat air, gouache dan mungkin sebentar lagi cat minyak) dan ilustrasi, sepertinya itu yang akan banyak saya bahas di blog ini.

2. Politik. Ketertarikan saya pada politik, sangat besar. Sejak dulu sampe setua sekarang. Seandainya waktu bisa diputar kembali, kalo saja umur saya lebih muda, saya mau terjun ke politik. Sepertinya saya akan betah di situ.

3. Kehidupan sehari-hari. Setelah mencapai usia 50 tahun, lebih tepatnya, 56 tahun dalam beberapa hari lagi, saya lebih bisa mengapreasi kehidupan yang saya jalani dari hari ke hari ini. Hal-hal yang sederhana2 aja bisa jadi menarik dan disyukuri.

4. Renungan harian. Karena saya sekarang membaca Alkitab setiap hari secara berurutan, maka saya akan sering menuliskan renungan berdasarkan Alkitab di blog ini.

5. Media sosial. Sebagai pengguna dan penyuka medsos maka perkembangannya juga merupakan hal yang menarik bagi saya dan akan jadi topik yang saya bahas juga di sini.

6. Serial korea/cina/barat dan buku. Apakah itu show yang saya tonton di Netflix atau HBO, jika terasa enak untuk ditulis, akan saya bahas juga di blog ini. Begitu juga buku yang berhasil saya baca tuntas, reviewnya pun saya taruh di blog ini.

7. Singleness. Sebetulnya, saya nggak punya masalah sedikitpun dalam menjalani kehidupan melajang. Tapi, sepertinya akan menarik untuk membicarakannya sekali2.

Kayaknya punya 7 topik utama untuk dibicarakan, sudah lebih dari cukup ya. Mungkin, pada prakteknya nanti, akan ada topik2 lain yang nggak disebutkan di sini tapi ternyata saya bahas juga. Nggak apa dong, apapun yang nulisable alia bisa ditulis, ya tulis saja. Sekalian latihan menulis setelah sekian lama absen dari perbloggingan. 

Oh iya... apa kabar kalian semua?

Monday, January 17, 2022

Apa Resolusi 2022 Kamu?

Iya, saya tahu kok, setiap tahun kita membuat resolusi lalu, entah bagaimana, kita (mungkin karena terlalu over-estimasi) ternyata gagal melulu dalam eksekusinya. Akibatnya? Kita jadi takut untuk membuat resolusi lagi pada tahun ini. Kenapa? Ya karena rasa gagal itu nggak enak, man! Apalagi, resolusi-resolusi yang gagal itu kemudian jadi becandaan dan lama-kelamaan, disadari atau tidak, kita pun memandang sinis sama resolusi orang lain, dan makin pesimis sama resolusi sendiri. Lalu jatohnya, resolusi menjadi ajang olok-olokan, demi menutupi rasa kecewa itu sendiri.

Tapi, gimana kalo kita memutuskan untuk ga mau menyerah? Gimana kalau kita keukeuh untuk tetap membuat resolusi dengan belajar atau berkaca dari pengalaman kegagalan-kegagalan kita di waktu-waktu yang lalu itu?

Maksudnya gimana ya?

Maksudnya, gimana kalau melalui kegagalan-kegagalan itu, kita sebetulnya sedang dipersiapkan untuk lebih siap berhasil dalam resolusi tahun ini? So, instead of being cynical or giving up, kita justru belajar menganalisis kenapa yak kok gw gagal maning, gagal maning? Apa sih sebab-sebab dari kegagalan-kegagalan itu? Dan, kira-kira ada nggak cara yang lebih baik supaya berhasil? Kalian nggak penasaran apah, pengen tau juga dong gimana rasanya kalo berhasil, ya kan? Kalo iya, yuk sama-sama kita uraikan benang-benang kusutnya, supaya bisa melihat lebih jelas, apa, kenapa, bagaimana, lalu mungkin, kali ini kita bisa menaklukkan resolusi kita itu dengan sempurna! Yay!

Mari kita mulai dengan meninjau kegagalan itu. Mungkin nih ya, kita gagal melulu itu karena: kurang persiapan. Misalnya, resolusi kita untuk tahun ini adalah membaca 100 buku. Padahal, buku yang kita miliki cuma 10 buku saja, dan kita nggak punya dana untuk membeli 90 buku berikutnya. Maka, resolusi terasa sebagai beban berat yang bikin kita jadi malas untuk melakukannya dan jadi putus asa. Padahal nih, kalau saja kita betul-betul memikirkannya, maka ada beberapa jalan keluar yang bisa ditempuh:
1. meminjam ebook di perpusnas, aplikasinya bisa didownload di google play atau apple store.
2. pinjam buku dari teman.
3. pinjam buku dari perpustakaan terdekat di tempat tinggalmu.
4. baca buku di tokobuku, bisa loh kalau memang mau.

Jika pilihan-pilihan di atas terasa agak memberatkan, maka, bisa juga resolusinya disesuaikan dengan kondisi kita. Nggak ada salahnya juga membaca ulang ke-10 buku itu lalu membuat resensinya misalnya, dibahas aja sedetil-detilnya, kan seru juga. Atau kalau kita nggak berkenan dengan endingnya, bisa saja kita menuliskan ending yang baru, atau bikin cerita itu jadi cerita versi kita. 

Intinya, kita bisa jadi nggak terlalu kaku memandang cara membuat resolusi yang menyenangkan dan berhasil, yang kita perlukan barangkali hanya sudut pandang yang berbeda dan sedikit kreativitas. Lagipula, setelah saya pikir-pikir kembali, resolusi ini kan milik kita, untuk kita, jadi kita sebetulnya bebas menafsirkan dan melakukannya dengan cara kita. Iya kan?

Dengan begitu, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk memenuhi resolusi kita. Jadi, resolusi itu nggak perlu yang muluk-muluk, sih. Biasanya, semakin muluk, semakin sulit untuk dicapai. Kayak, membaca 100 buku itu, mungkin mudah kalau kita tinggalnya di perpustakaan dan ga ngapa-ngapain selain membaca buku setiap waktu, mungkin bukan cuma 100 buku doang, seribu buku pun bisa selesai dalam setahun. Ya kan? Tapi, jika kitanya ini bukan penunggu perpustakaan dan punya banyak kegiatan lain yang wajib juga dikerjakan, ya bikinlah hidup kita jadi lebih mudah dengan membuat resolusi kita lebih ramah dan lebih tergapai-able, begitu.

Jadi, masalah kenapa resolusi bisa gagal melulu itu, selain karena kurang persiapan, bisa jadi juga karena terlalu muluk, seakan-akan kita memang sedang sengaja banget nyusahin diri sendiri.

Jadi, menurut saya, resolusi jangan dibuat untuk nyusahin diri sendiri atau dengan udah-pasti-gagal-attitude, tapi, kudu dipikirin agak panjang, nggak asal ikutan trend doang, lebih diseriusin dan lebih baik lagi jika secara sadar bener-bener direncanakan, entah secara detil atau garis besarnya aja. Kenapa? Karena dengan begitu, kita udah bertujuan untuk membuat diri kita sukses. Iya apa iya? Iya.

Baiklah, setelah ngoceh panjaaang lebar, yang lebih tepatnya untuk menyemangati diri sendiri ini, dan untuk menyemangati kamu yang entah bagaimana dikirimkan semesta untuk membaca postingan ini, maka tibalah saatnya untuk menuliskan apa saja resolusi saya untuk tahun ini dan mengupasnya sedikit.

Resolusi saya untuk tahun 2022 ini:

1. Lebih banyak membaca buku.

Iya, ini resolusi yang kurang jelas, kurang spesifik dan jatuhnya bisa jadi muluk-muluk atau malah nggak dilaksanakan sama sekali. Apa tuh maksudnya lebih banyak membaca buku? Lebih banyak jika dibandingkan dengan siapa, atau dengan apa? Ya kan? Ya dong, kudu ada perbandingannya lah ya. Kalo cuma dengan tahun lalu, maka saya ga perlu baca banyak-banyak amat sih, cukup baca dua buku juga udah lebih banyak dari tahun lalu. Haha..iya, separah itu memang kondisi kegiatan membaca saya.

Karena itu, saya harus banget membuat daftar buku yang saya miliki dan mana saja yang memang menarik untuk saya baca ulang atau malah belum pernah saya baca dan karena itu sekaranglah saatnya saya baca-baca dan mana yang akan saya simpan di loteng untuk sementara waktu.

Lalu, saya harus meniatkan dan menyiapkan spot waktu untuk membaca, apakah setiap akhir pekan melahap satu buku, ataukah dirincit selama beberapa hari. Ini juga penting lho, sebab ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lain yang harus minggir dulu.

2. Lebih banyak menulis.

Sama sih ya kayak di atas. Ini juga resolusi yang ga terlalu jelas. Apa nih maksudnya lebih banyak menulis? Tapi ini bisa saya jawab dengan lebih percaya diri sih, haha..karena saya sadari bahwa menulis adalah talenta saya secara natural. Jadi, saya bakalan lebih banyak menulis macam ini, baik itu di kertas (iya ini memang saya tulis dulu panjang-panjang gitu di kertas), kembali aktif mengisi blog ini, menulis resensi di blog KampungFiksi, menulis cerpen dan kembali menulis puisi.

3. Menggambar 100 wajah.

Haha! Iyes, iyes, saya ngaku deh, ini memang salah satu dari resolusi yang muluk-muluk itu sih. Lho, udah tau muluk, kok malah melanggar aturan yang dibuat sendiri sih? Klise sih ya, karena rules are meant to be broken, alias aturan itu ada untuk dilanggar wkwkwk... apakah karena saya sedang set myself up for failure? Enggak sayang, enggak. Justru sebaliknya. Resolusi yang satu ini adalah resolusi yang paling masuk akal.

Yes, resolusi ini adalah kegiatan yang menguntungkan, apakah saya bakal berhasil mencapai 100 wajah atau lebih (siapa tau kan?), atau jika ga berhasil sampai 100 pun, kegiatan ini ga bakal mengecewakan, karena ini adalah ajang latihan untuk mengasah ketrampilan menggambar saya. Dan, karena belakangan-belakangan ini sketsa-sketsa saya sudah semakin maju, saya cukup percaya diri, saya akan mampu memenuhi resolusi ini dengan baik. 

4. Lebih teratur membaca Alkitab dan merenungkan firman Tuhan.

Terus terang aja, ini resolusi yang paling intimidatif, karena terus-menerus gagal saya tuntaskan. Iya, Tuhan, saya mengakui bahwa saya lemah. 

Kenapa? Karena terlalu muluk-muluk dan rakus. Muluk-muluk karena saya pikir saya mampu membaca dari berbagai sumber dan berbagai devosi. Dan begitu banyaknya devosi yang tersedia membuat saya jadi rakus mengumpulkan mereka banyak-banyak sesuai dengan tema yang sedang saya minati. Akibatnya? Saya jadi lebih banyak membaca opini penulis devosi, ketimbang tekun membaca langsung firman Tuhan dari Alkitabnya sendiri.

Untungnya, beberapa kali kegagalan dengan pola yang sama itu membuat saya bisa mendeteksi 'kenapa'-nya itu tadi, sehingga kini saya bisa mulai mencoba mengubah perilaku itu. Apa sih tujuan saya, membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Jadi, mana yang harusnya lebih dipentingkan, membaca devosi yang secara random (menurut tema) mengambil cuplikan-cuplikan firman, atau membaca firman secara kronologis dan merenungkannya? Karena tujuan saya adalah membaca Alkitabnya, maka saya harus lebih selektif memilih devosi yang perlu atau lebih tepatnya menarik untuk dibaca, atau sama sekali tidak perlu membaca devosi jika waktu yang tersedia hanya cukup untuk membaca Alkitab. Dengan begitu saya tahu yang mana yang menjadi prioritas.

5. Menyelesaikan naskah yang sudah pernah saya tulis lalu nekad mengirimkan mereka ke penerbit atau memuatnya secara bersambung di web khusus untuk konten kreatif. Ini adalah resolusi yang termasuk riskan. Semoga saya tidak mengecewakan diri sendiri. 

Bukan, bukan soal diterima atau ditolaknya naskah. Itu hal yang biasa. Saya nggak terlalu memusingkan hal itu karena hal itu berada di luar kontrol saya. Yang saya kuatirkan justru saya nggak mampu menyelesaikan naskah-naskah itu karena mereka ternyata nggak cukup panjang nafasnya untuk menjadi sebuah novel utuh.

Tapi, sudah terlalu lama saya meragukan diri sendiri, tahun ini, saya nggak lagi mau memanjakan keraguan itu. Mungkin motivasi ini lebih tepatnya yg merupakan resolusi ya, bahwa saya akan menyelesaikan apa yang sudah terbengkalai selama beberapa waktu, dan kali ini tidak akan sama seperti sebelumnya.

6. Open Commission for Portraiture.

Jika berhasil menyelesaikan 100 wajah, saya akan memberanikan diri untuk mencantumkan Open Commission alias Membuka Jasa Melukis/Menggambar Wajah.

Jadi, jelas kan ya..., resolusi ke-6 ini, erat kaitannya dengan resolusi ke-3 itu. 

7. Menata Studio.

Last but not least! Resolusi ini memang ditulis paling akhir, tapi bukan berarti dia yang paling ga penting. Justru sebaliknya, resolusi ini adalah kunci dari kesuksesan untuk beberapa resolusi yang sudah ditulis lebih dahulu. Itu sebabnya, saya harus sukses melaksanakan resolusi yang satu ini dalam bulan Januari ini juga, sehingga saya bisa leluasa melakukan resolusi-resolusi yang berhubungan dengan resolusi ke-7 ini di bulan-bulan selanjutnya, dan tahun-tahun mendatang.

Demikian ke-7 resolusi saya untuk tahun 2022 ini. Lalu, what next? Nah  ini bakalan jadi bahan blogpost berikutnya deh...

Tentang Ketekunan

Bokap suka bilang, setia melakukan perkara-perkara kecil supaya dipercaya untuk melakukan hal-hal yang lebih besar, dan untuk itu diperlukan ketekunan. 

Tadinya gw pikir,  gw bukan orang yang tekun, fokus dan konsentrasi mudah berubah-ubah, apalagi soal keinginan, jangan ditanya, pagi tahu, siang opor ayam, malamnya sate babi, pokoknya berantakan deh... Dan selama sekian tahun kehidupan gw yang setengah abad +2 tahun ini, baru sejak tiga tahun belakangan ini gw memahami mengapa dulu bokap sering bilang, pinter, IQ tinggi bahkan bakat itu nggak terlalu penting, yang penting itu tekun, harus mau kerja keras. Percuma punya potensi besar kalau tidak digali dan diusahakan, selama-lamanya dia akan jadi seperti talenta yang disembunyikan di bawah bantal, nggak menghasilkan apa-apa.

Iya sih, mirip kayak lo punya tanah besar dan subur dan berada di lokasi terbaik, tapi kalau lo nggak tau tanah itu mau diapain, ya dia ga akan menghasilkan apa-apa. Atau dia mungkin akan menghasilkan sesuatu tetapi tidak semaksimal jika benar-benar diurus dan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. 

Terus terang saja, saya sudah agak lupa, untuk apa dulu saya menulis draft ini. Draft ini sudah tersimpan lama banget, sejak umur 52, sampai sekarang ini, tinggal hitungan hari aja, saya bakal merayakan ulang tahun yang ke 53. Tapi kayaknya sih ini ada hubungan sama hobi yang selama 4 tahun ini saya tekuni: menggambar dan melukis dengan cat air dan gouache.

Kalau saja dari dulu saya menyadari potensi saya di bidang menggambar ternyata enggak jelek-jelek amat, saya pasti dengan percaya diri mengambil jurusan arsitektur, atau mungkin malah ke fashion design, karena saya nggak suka matematika dan fisika, yang dua-duanya penting buat jurusan arsitektur, tapi payahnya sense of fashion saya juga ga yang terlalu artistik, malah cenderung masa bodo dan lebih suka yang simple-simple. 

Mungkin lebih pas kalo saya ambil jurusan interior design kali ya? Kan, bingung, kan? Eimberrr..

Ini apa sih, bahkan dalam berandai-andai pun masih galau begini 🤭 Ya gitu lah, apa yang bekerja di dalam kepala saya tuh prosesnya semacam itu. I created too many options, many possibilities and got tangled in it. Jadi saya tuh tipe yang justru kebingungan jika diberikan kebebasan tanpa batasan, karena saya punya kecenderungan untuk lebih excited memikirkan begitu banyak variasi kemungkinan yang bisa saya lakukan, lalu bingung, mana duluan yang mau dibikin? 🙄

Buat kalian yang dengan mudahnya bisa fokus melakukan satu hal dan tidak gampang gelisah lalu ingin melakukan hal lain,  kalian sungguh beruntung. Sebab saya nggak begitu. Saya harus menguras tenaga untuk fokus hanya mengerjakan satu hal saja sampai tuntas baru kemudian mengerjakan hal yang berikutnya. Karena dalam kepala saya,  saya pikir saya mampu sekaligus mengerjakan tiga,  empat,  lima,  bahkan mungkin ribuan hal sekaligus dalam satu waktu. Saya pikir saya semacam tuhan,  padahal cuma debunya ampas rengginang. Sad, but true.  

And that kind of truth doesn't hurt,  it is actually the very thing that sets you free. Menyadari bahwa saya belagak jadi tuhan jika pola pikir saya terlalu gazilliontasking, membuat saya mengembangkan rem darurat yang harus segera saya tarik,  begitu arah dan tujuan pikiran saya mulai berantakan dan gatel2 mau lari kesana dan kemari. 

Saya memerlukan batasan2, atau simplenya disiplin diri yang kuat,  yang ga bisa terjadi dalam waktu semalam aja. Ga mungkin juga terjadi kalau saya nggak sadar akar masalah saya apa. Kesadaran ini, adalah langkah pertama bagi saya untuk memahami diri saya, keterbatasan saya, dan menjawab banyak pertanyaan membingungkan kenapa kok saya kerap ga tuntas. Bukan karena bosan. 

Saya bukan orang yang mudah bosan,  jatuh cinta aja sama org yg itu2 lagi ga kelar2 #ehgimana? 😝, abaikan. Saya ga mudah bosan,  saya hanya orang yang ingin semua hal sekaligus. Ibaratnya punya saku baju cuma satu tapi kepingin semua bisa masuk ke situ,  ya kali itu kantong ajaibnya Doraemon haha... Ya kagak terjadilah. Akibatnya,  keteteran. Sebab waktu kan cuma segitu2 aja setiap hari,  dan badan mana mampu disuruh berfungsi tanpa istirahat, belum lagi soal kapasitas otak 😇 yang terbatas ini. 

Demikianlah akhirnya saya menyadari makna setia pada perkara-perkara kecil itu,  jauh lebih dalam. Perkara-perkara kecil, kadang-kadang keliatannya sepele, karena itu kita ingin mengabaikan aja lalu lompat ke perkara-perkara yang nampak jauh lebih penting,  padahal belum tentu kita sudah siap. Atau,  ternyata, God is in the detail, justru perkara-perkara kecil itu yang membentuk perkara-perkara yang lebih besar,  jadi dia ga bisa dianggap remeh, apalagi dilewatkan begitu saja. 

Dalam melakukan perkara-perkara kecil ini pun jangan selalu disambi, sebab dia bakalan jadi numpuk kalau sampingannya kebanyakan. Mustinya cuma ngerjain satu aja beres, tapi malah menyibukkan diri dengan empat sekaligus dan malah jadinya nggak ada yang beres. Sebab saya termasuk orang yang perfeksionis, lebih suka ngulang dari awal daripada ngasih yang menurut standar saya ga memadai, atau lebih baik batal sama sekali drpd ngasih hasil yang ga optimal. Fatal, sebab, bagaimana mau optimal kalau fokusnya terbagi2?

Ada orang2 tertentu yang punya prinsip, yang penting jadi. Dia bisa kerja cepat, meskipun agak asal2an. Ada orang2 yang kerjanya lambat, tapi hasilnya memang bagus. Ada lagi yang kerjanya cepat, fokus dan hasilnya maksimal. Saya bukan ketiganya. Saya berantakan, ga mau hasil asal2an, mau semua selesai dalam waktu bersamaan. Saya bahkan ga paham, sebetulnya saya sedang mau membuktikan apa sih dengan menyusahkan diri sendiri seperti itu? 🤭🤭🤭 Oh ada yang sama? Welcome to the clubbb!!! Mari kita berpelukaaannn!

Makanya, teman2, saya akhirnya bertobat. Dan belajar menerima kenyataan bahwa saya memiliki dorongan2 yang harus saya sadari dan saya kendalikan. Karena, jika tidak saya sadari lalu segera kendalikan, yang terjadi adalah, tidak ada apapun yang selesai saya kerjakan karena keinginan yang terlalu banyak dan muluk-muluk itu.

Yang membuat saya menyadari apa sih masalah saya, adalah umur, haha..iya faktor umur itu membuat kita belajar mengenal diri kita dan pola-pola yang terjadi karena apa yang kita lakukan atau tidak lakukan. Akibat-akibatnya itu yang membuat saya melakukan refleksi dan kemudian sampai pada kesimpulan-kesimpulan, kemudian berusaha menemukan pola yang tepat sehingga ga terus-menerus jatuh ke pola yang salah.

Karena saya tipe yang lebih suka ngulang daripada ngasal, maka saya harus melakukan perencanaan, ga bisa bablas gitu aja, pdhl saya juga tipe yang impulsif, makanya kan jadi serba kontradiktif saat nggak paham sama diri sendiri. Jadi, saya harus menuangkan rencana2 saya sampai tumpah semua dan saya tahu mana yang plausible, mana yang ga ada hubungannya jadi gausah repot2 dipikirkan apalagi dikerjakan. 

Setelah puas, menumpahkan semua unek-unek secara spontan dan impulsif itu, lalu ambil yang plausible-nya, kemudian dipikirin lagi variasinya, dan dari sekian varian itu, mana yang paling saya sukai.

Setelah menemukan beberapa yang saya sukai, beri batasan, maksimal tiga, untuk coba dikerjakan dan yakinkan diri sendiri bahwa hanya perlu satu yang terbaik, tidak perlu tiga2nya. Hitung waktu yang diperlukan, pilih yang paling matang konsepnya untuk dikerjakan dalam batas waktu tersebut.

Nah, ini biasanya ampuh. Karena saya udah ngasih tempat untuk sisi impulsif saya sepuas-puasnya bergerak pada bagian ide-ide awal. Keluarkan semua isi lacinya, tumpah ruah, sampai dia capek sendiri dan tahu udah ga ada lagi yang tersimpan di laci. Lalu saat itu giliran bagian sortir memilah-milah, karena saya tipe yang untuk cuci piring pun ga bisa langsung cuci saat berantakan di dalam bak cuci, saya harus pilah piring2, gelas, garpu-sendok, buang sampah2 sisa makanan yang masih ada, baru kemudian saya bisa mulai mencucinya, nah seperti itu juga proses kerja pikiran saya.

Setelah semua kelar, sudah dikategorikan mana yang mana, kelompok-kelompoknya jelas. Saya jadi lebih tau, mana yang memang harus diabaikan saja, mana yang potensial dan mana yang jadi juaranya. Di sini agak sulit ya, karena saya rakus, maunya semua juaraaaa! Tapi, nggak bisa begitu Marimar 😇🤭 Kamu harus memilih. Di sinilah rem itu penting banget. Karena seringkali saya pikir, kenapa ga bikin tiga2 ide itu aja sekaligus, mereka bagus2 semua dan KAYAKNYA GW BISA eksekusi ketiganya sekaligus. Nope, jangan percaya. Godaan untuk membagi fokus menjadi mirip setipis keripik singkong asin pedas kesukaan saya itu, adalah jebakan betmen paling berbahaya untuk orang-orang dengan kepribadian macam saya yang mengira dirinya jauh lebih mampu daripada kemampuan sebenernya 🤣 Jadi, tegalah untuk mengatakan, TIDAK, kita sama2 tau, kita ga akan mampu. Pilih satu, masukkan yang lain ke dalam laci, ga ada yang terbuang kok, mungkin akan diperlukan untuk proyek yang lain.

Nah, dengan begini, saya memberikan kesempatan untuk keinginan saya yang mau melakukan sesuatu sebaik2nya itu untuk mulai berkarya. Dan mengetahui bahwa saya sudah melakukannya dengan segenap kemampuan saya, biasanya membuat saya bisa berdamai dengan apa yang saya hasilkan. Di situlah saya sadar bahwa papa benar, tekun itu penting, karena saya bukan orang yang punya bakat besar, saya ga jenius, tapi ketika saya berhasil menyingkirkan sampah-sampah yang ga perlu, lalu mulai fokus mengerjakan hanya yang perlu, ternyata hasilnya lebih baik daripada sebelumnya. Iya, ini bicara tentang gambar-menggambar memang.

Bagi orang lain, mungkin tinggal duduk manis dan gambar, apa susahnya. Emang. Tapi bagi orang semodel saya, ternyata yang begitu aja nggak gampang2 amat haha.. Dan saya berdamai dengan diri sendiri, melakukan proses panjang itu hingga suatu saat nanti ia akan jadi kebiasaan yang ga terasa lagi saat dilakukan. Tapi saya ingin tetap memelihara kesadaran, kenapa saya harus melakukan hal itu.