Karena masa depan itu sungguh nyata ...dan harapanmu tidak akan hilang!

Thursday, October 27, 2016

The Game We Play, Refleksi Setelah Menonton Game of Thrones

Dua minggu belakangan ini, saya mulai menonton ulang Game of Thrones, sambil ikut menunggu season terakhir dari serial ini. Game of Thrones, di balik adegan-adegan saling bunuh dan adegan seks yang secara brutal mempertontonkan tubuh-tubuh yan terbelah maupun tubuh-tubuh telanjang sepanjang hampir semua episodenya, sebetulnya adalah cerita tentang politik, tentang bagaimana bertahan hidup dalam sebuah dunia yang brutal. Dalam dunia Game of Thrones, kebaikan, kebenaran, kehormatan dan cinta saja tidak cukup untuk membuat seorang tokoh bertahan hidup. Tokoh yang tidak punya ambisi untuk menjadi the ruler of the 7 kingdoms, tidak pantas untuk tetap hidup, meskipun menurut perasaan kita, dia adalah tokoh baik yang kita sukai dan harapkan menjadi lebih dari sebuah kepala terpenggal yang dipancang di atas tombak.

Percayalah, kalau Ned Stark saja bisa berakhir tragis, apalagi Robb Stark yang saat ditanya apa yang akan dia lakukan setelah memenangkan perang, menjawab dia akan kembali ke Winterfell dan tidak mengklaim tahta di King's Landing. Teeet-tooot! Jawaban yang sangat salah. 

Saya sudah belajar dari pernyataan Cersei Lannister kepada Ned Stark, "When you play the game of thrones, you win or you die, there is no middle ground." Bahkan ketika seorang tokoh menang tapi dia tidak mau mengambil apa yang seharusnya diklaimnya, dia pasti mati karena akan ada tokoh lain yang mengklaim apa yang tidak diklaimnya dan sebagai ancaman terbesar maka tokoh yang lalai dan tidak mengklaim haknya itu harus disingkirkan.



Setiap tokoh yang fokusnya melenceng dari memperebutkan tahta, harus disingkirkan karena dia tidak ada gunanya untuk jalan cerita. Setiap tokoh, seberapa busuknya pun dia, jika fokusnya adalah tahta, maka dia harus dipertahankan. Itu sebabnya, Cersei Lannister merupakan salah satu tokoh sentral yang tidak dapat digantikan. Sansa Stark, dari awal merupakan tokoh yang fokus ingin menjadi ratu, maka dia selamat. Denaerys Targaryen, fokusnya juga tepat, ingin pulang ke Westeros dan mengklaim tahta, maka dia pasti selamat. John Snow, atau seharusnya John Targaryen, dia selamat karena dia pewaris tahta seperti Denaerys dan karena dia bertekad menyelamatkan kerajaan dari the Night King. Semua tokoh-tokoh yang selamat sampai ke season 7 adalah tokoh-tokoh yang memang diperlukan untuk memainkan perebutan tahta. Perebutan tahta ini pun hanya sebuah pemanasan, sebab pertandingan yang sesungguhnya adalah antara the living and the dead, fire and ice, The Lord of Light against the Night King. Manusia versus Zombie. Sungguh yuck, I hate zombie's movies, makanya saya nggak pernah mau nonton film The Walking Dead. Tapi karena saya sudah terlanjur ingin tahu bagaimana nanti naga-naga mencairkan es di utara, dan apakah mungkin, daripada menjadi penjaga tembok utara, Brandon Stark yang bakalan jadi raja, atau dia justru hanya akan menjadi Frodo bagi John Snow yang menjadi Aragorn-nya (kalau saya ikut 'bermain' di GoT, pasti sudah mati duluan karena salah pilih siapa yang diikuti, hahaha), maka saya terpaksa harus menonton sampai akhir.

Baiklah, The Game of Thrones ini menyadarkan saya bahwa kita semua berada dalam sebuah lingkaran permainan. We all play the Game of Life. Dalam permainan kehidupan, ada berbagai macam permainan yang bisa kita pilih untuk kita mainkan dan jika ingin berhasil dalam memainkannya kita juga harus tahu gimana cara memainkannya, apa saja aturan-aturan yang ada di dalamnya dan bila perlu, seperti kata Denaerys, 'I'm not going to stop the wheel, I'm going to break the wheel.' Semuanya menjadi mungkin, dengan satu syarat utama, fokusnya harus tepat. 

Tadinya, Saya Memilih Ahok Bukan Karena Sama-sama Kristen, Tapi Sekarang...

Sejak 11 Oktober 2016, saya menutup akun Facebook untuk sementara waktu, sampai Februari 2017, setelah pilkada serempak selesai dilaksanakan. Alasan saya sederhana saja, muak membaca gonjang-ganjing isu agama dibawa ke politik, sebab saya jadi punya banyak alasan untuk menghina agama tertentu yang memang menurut pandangan subyektif saya, sangat patut terhina dan dihina justru karena ulah umatnya sendiri. Nah... intensitas emosi saya yang sudah seperti ini, menurut agama yang saya anut, tidak lagi patut untuk dibiarkan dan diikuti, karena seharusnya sebagai orang Kristen, selain selalu menyatakan kebenaran saya juga harus mampu melaksanakan ajaran Kristus yan satu ini, 'siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu' (Matius 5:39), intinya, menurut rasul Petrus, 'janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan, caci maki dengan caci maki' (1Petrus 3:9). Karena saya tahu bahwa saya tidak akan mampu melakukan perintah tersebut kalau saya membiarkan diri saya tetap berada di lingkaran media sosial dan dampaknya bakalan buruk untuk kesehatan mental saya sendiri, maka saya memutuskan untuk menahan diri dan menghindar dari kemungkinan terburuk itu. Saya memutuskan untuk, walk away untuk sementara waktu. Facebook bukan sebuah kewajiban, hahaha...

Ketika waktunya tiba, saya sudah tahu saya akan memilih nomor dua. Tadinya, saya bukan memilih Ahok karena kami sama-sama kristen (baca di sini: Ini Alasan Mengapa Walaupun Saya Kristen, Tapi Tidak Serta-Merta Pilih Ahok). Tapi sekarang, justru karena Ahok cina kristen itulah maka dia mampu menunjukkan kualitasnya yang mumpuni. Justru karena Ahok, Cina dan Kristen, maka dia menjadi Ahok yang luar biasa itu. Kalau dia Cina dan mantan Kristen, bisa-bisa dia berakhir seperti Felix Siauw, ngeri nggak membayangkannya? Justru, karena dia Cina Kristen yang begitu vokal menyuarakan dan melakukan apa yang benar untuk bangsa ini, untuk ibu kota, untuk rakyat sesuai dengan hukum yang berlaku dan membuat pertimbangan2 sesuai ahlak serta ajaran agama yang dianutnya, maka dia jadi berbeda. Dia menjadikan dirinya tolok ukur bagi orang-orang Kristen lainnya bahwa di negara yang luar biasa bebasnya isu SARA dimainkan oleh sebagian populasinya, masih lebih banyak orang-orang yang ternyata waras dan berani mendukungmu, apapun agamamu dan apapun ras asalmu, asal kamu berani menunjukkan kebenaran dan tidak mundur ketika kesempatan diberikan kepadamu untuk melakukan perubahan.

Banyak orang kristen atau non-kristen yang baik, tapi takut-takut ketika kesempatan mereka ada, sehingga ketika seharusnya mereka bersinar, sinar mereka redup karena mereka tak berani tampil sebaik-baiknya, saat tampil sebaik-baiknya itu berarti harus melawan kelompok mayoritas yang korup dan bermoral rendah. Ahok tidak terintimidasi, dia justru dengan kepala tegak dan aksen bangka-belitongnya yang kental itu, secara menyolok menunjukkan bahwa, justru karena dia kristen maka dia harus bersinar seterang-terangnya, dia harus membuat perubahan, dia harus menjadi contoh bagaimana seorang anak Tuhan yang berjalan dalam terang melakukan tugas-tugasnya. Dia nekad membawa terang ke dalam kegelapan, membawa sinar itu sampai ke pelosok paling gelap di WC paling gelap dan paling busuk baunya. Dengan kenekadan itu, dia membuat raja jin, raja coro, raja ork dan begundal-begundal mereka  yang selalu bisa bersembunyi di dalam gelap, kini pontang-panting kelimpungan mencari jalan menghindari terang yang semakin lama semakin benderang itu. Ahok menunjukkan, ketika dia secara sadar tidak hanya bekerja untuk manusia, tapi juga bekerja untuk Tuhan, untuk melakukan hal yang benar di tengah politik yang tak pernah benar-benar hitam putih itu, maka Tuhan yang akan melapangkan jalannya, seberapa besarpun tantangan yang terus menghadang. Orang bisa bilang Ahok itu hoki, beruntung saja. Tapi keberuntungan yang terus-menerus? Hehehe.... Saya lebih percaya bahwa Tuhannya dan Tuhan saya, yang membukakan Laut Merah untuk Musa dan Israel, bukan Tuhan yang lemah dan karena itu perlu pasukan untuk membela dan menyelamatkannya. Tuhan yang disembah Ahok dan saya justru adalah Tuhan pembela dan penyelamat. Dialah satu-satunya Tangan Yang Kuat itu. Tak perduli berapa banyaknya tantangan dan rintangan, ketika Tangan Tuhan ada di atasmu, tak ada yang dapat menghalangimu. Bahkan kematian, bukan hal yang menakutkan sama sekali, itu sebabnya Ahok berani, dia tahu Tuhannya sudah mengalahkan kematian. Tuhan itu, yang menjadi pembelanya dan sandarannya.

Saya, tentunya, bukan pembela Ahok. Saya tidak mampu melakukannya. Siapa saya sih? Saya memilih untuk walk away, sebab saya percaya, Tuhan sudah memilih siapa juaranya. Tugas saya hanya cukup membuat pilihan sesuai hasil pengamatan dan hati nurani pada pilkada DKI di bulan Februari 2017. Gimana nanti skor akhirnya, itu sudah ada dalam suratan takdir. Tapi saya belum tahu takdir akan seperti apa. Syukurlah, dengan begitu saya masih bisa merasa saya punya andil dalam menentukan jalannya sejarah Jakarta. Saya ingin Jakarta maju dan berkembang di bawah kepemimpinan seorang cina kristen yang diberkati untuk memberkati kota ini. Maka, ya, sekarang saya memilih Ahok karena dia kristen dan karena dia cina dan karena saya seratus persen yakin dia mampu memimpin Jakarta menjadi jauh lebih baik daripada yang pernah dibayangkan. Jakarta yang terlahir kembali, lebih baik, lebih maju, lebih kuat!

Saturday, October 01, 2016

Katakan Cukup Sudah, Aku Bukan Sisyphus

Cukup sudah. Gambar ini sudah saya posting
di instagram
Ada masanya, kita--kita? lebih tepatnya, saya--seperti Sisyphus, melakukan hal yang sia-sia secara berulang-ulang, nggak pernah selesai-selesai. Eh, sebentar... Tau kan hal sia-sia seperti apa yang terpaksa harus dikerjakan Sisyphus sepanjang keabadian? Tau juga kah cerita kenapa dia sampai harus melakukan hal itu? Mungkin ada yang belum tahu, dan karena mood saya sedang kepingin nulis postingan panjaaang, mari saya ceritakan kembali mitos Yunani yang satu ini. Ceritanya menarik.

Kisah Sisyphus

Sisyphus adalah seorang raja dari Ephyra atau yang sekarang disebut sebagai Corinth (Korintus). Sebagai penguasa dia terkenal cerdas dan culas. Untuk melanggengkan kekuasaannya, dia melakukan segala cara dan membunuh banyak orang. Tetapi dosa terbesar yang dilakukannya adalah sesumbar bahwa dia lebih cerdas dari Zeus. Sebagai mahadewa, Zeus tentu tidak terima. Sisyphus lalu dihukum dengan dikirim ke dunia bawah, Tartarus, yang dikuasai oleh Kematian, Thanatos. Namun apa yang terjadi? Sisyphus berhasil menjebak dan merantai Thanatos lalu kabur dari Tartarus. Akibatnya, tak ada manusia yang meninggal untuk jangka waktu yang sangat lama, karena Kematian diikat oleh Sisyphus. Hal ini menjengkelkan bagi Ares, dewa perang, karena apa asyiknya dalam sebuah peperangan saat tak ada yang mati terbunuh? Maka dewa-dewa pun bersepakat untuk bersama-sama menangkap manusia yang merepotkan dan mengacaukan keseimbangan yang mereka ciptakan. Mereka lalu mengancam akan membuat hidup Sisyphus begitu menderita sehingga ia akan memohon untuk mati. Sisyphus pun tak berani mengambil resiko tersebut, ia membebaskan Thanatos dan menerima hukumannya.

Apa hukumannya?

Hukumannya adalah untuk selama-lamanya, Sisyphus harus melakukan satu kegiatan, mendorong sebongkah batu besar ke atas gunung dan batu itu akan meluncur turun kembali sehingga Sisyphus harus mendorongnya lagi ke atas. Demikian berulang-ulang, sepanjang keabadian.

Saya bukan Sisyphus. Tetapi selama bertahun-tahun, sejak 2006 hingga 2016 ini, saya melakukan hal yang mirip seperti yang dilakukan oleh Sisyphus. Menjalani hal yang sia-sia untuk dilakukan, bukan karena kena kutukan atau hukuman dewa-dewa, tetapi karena belum memiliki kesadaran bahwa saya sedang menjalankan "hukuman" yang seharusnya tidak perlu saya jalani.

Beruntungnya, saya, berbeda dengan Sisyphus, tidak harus mendorong batu itu ke atas dan boleh membiarkannya menggelinding sesukanya. Saya, tidak seperti Sisyphus, bebas merdeka untuk keluar dari tartarus dan bisa pergi kemana saya kehendaki. Mantera untuk membebaskan diri dari kesia-siaan hanya satu: cukup sudah.

Ya, kesabaran harus ada batasnya. Ada kecukupannya. Itu semua untuk kebaikan manusia bahwa ada batasan-batasan. Batasan kesakitan adalah kematian. Batasan kemarahan adalah tindakan. Batasan kesabaran adalah perubahan. Setidaknya, itu bagi saya. Saya bersyukur, cuma perlu waktu sepuluh tahun untuk menyadari kesisyphusan yang sudah saya lakukan perlu dihentikan sebab saya nggak berbahagia melakukannya. Begitu saya putuskan untuk cukup sudah, dan meninggalkan semuanya begitu saja, langkah saya ternyata enteng-enteng saja. Jalan di depan sana aman-aman saja. Sejauh ini, hari-hari saya tetap normal-normal saja, haha... emang mau jadi aneh kayak apaan sih?

Semua itu memberikan satu lagi pelajaran berharga yang saya peroleh dari pengalaman ini yaitu, be brave, jangan maju mundur, melangkah ke depan, biarkan apa yang tak bisa diselesaikan dan diubah untuk direlakan saja. Bukan bagian saya untuk memperbaiki apa yang memang bukan tugas saya. Saya bahkan tidak perlu membuang-buang tenaga dan waktu untuk itu. Saya seperti baut yang berbeda ukuran dimasukkan secara paksa pada sebuah mur. Pantas saja makin nggak beres, saya yang semakin lama semakin nggak nyaman dan bosan, dan akhirnya muak. Muak itu penting ternyata, haha... Muak itu, puncak kesadaran. Lalu semua menjadi lebih jernih saat melepaskan sumber masalah.

C'est la vie. Begitulah hidup...