Karena masa depan itu sungguh nyata ...dan harapanmu tidak akan hilang!

Monday, January 17, 2022

Apa Resolusi 2022 Kamu?

Iya, saya tahu kok, setiap tahun kita membuat resolusi lalu, entah bagaimana, kita (mungkin karena terlalu over-estimasi) ternyata gagal melulu dalam eksekusinya. Akibatnya? Kita jadi takut untuk membuat resolusi lagi pada tahun ini. Kenapa? Ya karena rasa gagal itu nggak enak, man! Apalagi, resolusi-resolusi yang gagal itu kemudian jadi becandaan dan lama-kelamaan, disadari atau tidak, kita pun memandang sinis sama resolusi orang lain, dan makin pesimis sama resolusi sendiri. Lalu jatohnya, resolusi menjadi ajang olok-olokan, demi menutupi rasa kecewa itu sendiri.

Tapi, gimana kalo kita memutuskan untuk ga mau menyerah? Gimana kalau kita keukeuh untuk tetap membuat resolusi dengan belajar atau berkaca dari pengalaman kegagalan-kegagalan kita di waktu-waktu yang lalu itu?

Maksudnya gimana ya?

Maksudnya, gimana kalau melalui kegagalan-kegagalan itu, kita sebetulnya sedang dipersiapkan untuk lebih siap berhasil dalam resolusi tahun ini? So, instead of being cynical or giving up, kita justru belajar menganalisis kenapa yak kok gw gagal maning, gagal maning? Apa sih sebab-sebab dari kegagalan-kegagalan itu? Dan, kira-kira ada nggak cara yang lebih baik supaya berhasil? Kalian nggak penasaran apah, pengen tau juga dong gimana rasanya kalo berhasil, ya kan? Kalo iya, yuk sama-sama kita uraikan benang-benang kusutnya, supaya bisa melihat lebih jelas, apa, kenapa, bagaimana, lalu mungkin, kali ini kita bisa menaklukkan resolusi kita itu dengan sempurna! Yay!

Mari kita mulai dengan meninjau kegagalan itu. Mungkin nih ya, kita gagal melulu itu karena: kurang persiapan. Misalnya, resolusi kita untuk tahun ini adalah membaca 100 buku. Padahal, buku yang kita miliki cuma 10 buku saja, dan kita nggak punya dana untuk membeli 90 buku berikutnya. Maka, resolusi terasa sebagai beban berat yang bikin kita jadi malas untuk melakukannya dan jadi putus asa. Padahal nih, kalau saja kita betul-betul memikirkannya, maka ada beberapa jalan keluar yang bisa ditempuh:
1. meminjam ebook di perpusnas, aplikasinya bisa didownload di google play atau apple store.
2. pinjam buku dari teman.
3. pinjam buku dari perpustakaan terdekat di tempat tinggalmu.
4. baca buku di tokobuku, bisa loh kalau memang mau.

Jika pilihan-pilihan di atas terasa agak memberatkan, maka, bisa juga resolusinya disesuaikan dengan kondisi kita. Nggak ada salahnya juga membaca ulang ke-10 buku itu lalu membuat resensinya misalnya, dibahas aja sedetil-detilnya, kan seru juga. Atau kalau kita nggak berkenan dengan endingnya, bisa saja kita menuliskan ending yang baru, atau bikin cerita itu jadi cerita versi kita. 

Intinya, kita bisa jadi nggak terlalu kaku memandang cara membuat resolusi yang menyenangkan dan berhasil, yang kita perlukan barangkali hanya sudut pandang yang berbeda dan sedikit kreativitas. Lagipula, setelah saya pikir-pikir kembali, resolusi ini kan milik kita, untuk kita, jadi kita sebetulnya bebas menafsirkan dan melakukannya dengan cara kita. Iya kan?

Dengan begitu, akan jauh lebih mudah bagi kita untuk memenuhi resolusi kita. Jadi, resolusi itu nggak perlu yang muluk-muluk, sih. Biasanya, semakin muluk, semakin sulit untuk dicapai. Kayak, membaca 100 buku itu, mungkin mudah kalau kita tinggalnya di perpustakaan dan ga ngapa-ngapain selain membaca buku setiap waktu, mungkin bukan cuma 100 buku doang, seribu buku pun bisa selesai dalam setahun. Ya kan? Tapi, jika kitanya ini bukan penunggu perpustakaan dan punya banyak kegiatan lain yang wajib juga dikerjakan, ya bikinlah hidup kita jadi lebih mudah dengan membuat resolusi kita lebih ramah dan lebih tergapai-able, begitu.

Jadi, masalah kenapa resolusi bisa gagal melulu itu, selain karena kurang persiapan, bisa jadi juga karena terlalu muluk, seakan-akan kita memang sedang sengaja banget nyusahin diri sendiri.

Jadi, menurut saya, resolusi jangan dibuat untuk nyusahin diri sendiri atau dengan udah-pasti-gagal-attitude, tapi, kudu dipikirin agak panjang, nggak asal ikutan trend doang, lebih diseriusin dan lebih baik lagi jika secara sadar bener-bener direncanakan, entah secara detil atau garis besarnya aja. Kenapa? Karena dengan begitu, kita udah bertujuan untuk membuat diri kita sukses. Iya apa iya? Iya.

Baiklah, setelah ngoceh panjaaang lebar, yang lebih tepatnya untuk menyemangati diri sendiri ini, dan untuk menyemangati kamu yang entah bagaimana dikirimkan semesta untuk membaca postingan ini, maka tibalah saatnya untuk menuliskan apa saja resolusi saya untuk tahun ini dan mengupasnya sedikit.

Resolusi saya untuk tahun 2022 ini:

1. Lebih banyak membaca buku.

Iya, ini resolusi yang kurang jelas, kurang spesifik dan jatuhnya bisa jadi muluk-muluk atau malah nggak dilaksanakan sama sekali. Apa tuh maksudnya lebih banyak membaca buku? Lebih banyak jika dibandingkan dengan siapa, atau dengan apa? Ya kan? Ya dong, kudu ada perbandingannya lah ya. Kalo cuma dengan tahun lalu, maka saya ga perlu baca banyak-banyak amat sih, cukup baca dua buku juga udah lebih banyak dari tahun lalu. Haha..iya, separah itu memang kondisi kegiatan membaca saya.

Karena itu, saya harus banget membuat daftar buku yang saya miliki dan mana saja yang memang menarik untuk saya baca ulang atau malah belum pernah saya baca dan karena itu sekaranglah saatnya saya baca-baca dan mana yang akan saya simpan di loteng untuk sementara waktu.

Lalu, saya harus meniatkan dan menyiapkan spot waktu untuk membaca, apakah setiap akhir pekan melahap satu buku, ataukah dirincit selama beberapa hari. Ini juga penting lho, sebab ada kaitannya dengan kegiatan-kegiatan lain yang harus minggir dulu.

2. Lebih banyak menulis.

Sama sih ya kayak di atas. Ini juga resolusi yang ga terlalu jelas. Apa nih maksudnya lebih banyak menulis? Tapi ini bisa saya jawab dengan lebih percaya diri sih, haha..karena saya sadari bahwa menulis adalah talenta saya secara natural. Jadi, saya bakalan lebih banyak menulis macam ini, baik itu di kertas (iya ini memang saya tulis dulu panjang-panjang gitu di kertas), kembali aktif mengisi blog ini, menulis resensi di blog KampungFiksi, menulis cerpen dan kembali menulis puisi.

3. Menggambar 100 wajah.

Haha! Iyes, iyes, saya ngaku deh, ini memang salah satu dari resolusi yang muluk-muluk itu sih. Lho, udah tau muluk, kok malah melanggar aturan yang dibuat sendiri sih? Klise sih ya, karena rules are meant to be broken, alias aturan itu ada untuk dilanggar wkwkwk... apakah karena saya sedang set myself up for failure? Enggak sayang, enggak. Justru sebaliknya. Resolusi yang satu ini adalah resolusi yang paling masuk akal.

Yes, resolusi ini adalah kegiatan yang menguntungkan, apakah saya bakal berhasil mencapai 100 wajah atau lebih (siapa tau kan?), atau jika ga berhasil sampai 100 pun, kegiatan ini ga bakal mengecewakan, karena ini adalah ajang latihan untuk mengasah ketrampilan menggambar saya. Dan, karena belakangan-belakangan ini sketsa-sketsa saya sudah semakin maju, saya cukup percaya diri, saya akan mampu memenuhi resolusi ini dengan baik. 

4. Lebih teratur membaca Alkitab dan merenungkan firman Tuhan.

Terus terang aja, ini resolusi yang paling intimidatif, karena terus-menerus gagal saya tuntaskan. Iya, Tuhan, saya mengakui bahwa saya lemah. 

Kenapa? Karena terlalu muluk-muluk dan rakus. Muluk-muluk karena saya pikir saya mampu membaca dari berbagai sumber dan berbagai devosi. Dan begitu banyaknya devosi yang tersedia membuat saya jadi rakus mengumpulkan mereka banyak-banyak sesuai dengan tema yang sedang saya minati. Akibatnya? Saya jadi lebih banyak membaca opini penulis devosi, ketimbang tekun membaca langsung firman Tuhan dari Alkitabnya sendiri.

Untungnya, beberapa kali kegagalan dengan pola yang sama itu membuat saya bisa mendeteksi 'kenapa'-nya itu tadi, sehingga kini saya bisa mulai mencoba mengubah perilaku itu. Apa sih tujuan saya, membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Jadi, mana yang harusnya lebih dipentingkan, membaca devosi yang secara random (menurut tema) mengambil cuplikan-cuplikan firman, atau membaca firman secara kronologis dan merenungkannya? Karena tujuan saya adalah membaca Alkitabnya, maka saya harus lebih selektif memilih devosi yang perlu atau lebih tepatnya menarik untuk dibaca, atau sama sekali tidak perlu membaca devosi jika waktu yang tersedia hanya cukup untuk membaca Alkitab. Dengan begitu saya tahu yang mana yang menjadi prioritas.

5. Menyelesaikan naskah yang sudah pernah saya tulis lalu nekad mengirimkan mereka ke penerbit atau memuatnya secara bersambung di web khusus untuk konten kreatif. Ini adalah resolusi yang termasuk riskan. Semoga saya tidak mengecewakan diri sendiri. 

Bukan, bukan soal diterima atau ditolaknya naskah. Itu hal yang biasa. Saya nggak terlalu memusingkan hal itu karena hal itu berada di luar kontrol saya. Yang saya kuatirkan justru saya nggak mampu menyelesaikan naskah-naskah itu karena mereka ternyata nggak cukup panjang nafasnya untuk menjadi sebuah novel utuh.

Tapi, sudah terlalu lama saya meragukan diri sendiri, tahun ini, saya nggak lagi mau memanjakan keraguan itu. Mungkin motivasi ini lebih tepatnya yg merupakan resolusi ya, bahwa saya akan menyelesaikan apa yang sudah terbengkalai selama beberapa waktu, dan kali ini tidak akan sama seperti sebelumnya.

6. Open Commission for Portraiture.

Jika berhasil menyelesaikan 100 wajah, saya akan memberanikan diri untuk mencantumkan Open Commission alias Membuka Jasa Melukis/Menggambar Wajah.

Jadi, jelas kan ya..., resolusi ke-6 ini, erat kaitannya dengan resolusi ke-3 itu. 

7. Menata Studio.

Last but not least! Resolusi ini memang ditulis paling akhir, tapi bukan berarti dia yang paling ga penting. Justru sebaliknya, resolusi ini adalah kunci dari kesuksesan untuk beberapa resolusi yang sudah ditulis lebih dahulu. Itu sebabnya, saya harus sukses melaksanakan resolusi yang satu ini dalam bulan Januari ini juga, sehingga saya bisa leluasa melakukan resolusi-resolusi yang berhubungan dengan resolusi ke-7 ini di bulan-bulan selanjutnya, dan tahun-tahun mendatang.

Demikian ke-7 resolusi saya untuk tahun 2022 ini. Lalu, what next? Nah  ini bakalan jadi bahan blogpost berikutnya deh...

Tentang Ketekunan

Bokap suka bilang, setia melakukan perkara-perkara kecil supaya dipercaya untuk melakukan hal-hal yang lebih besar, dan untuk itu diperlukan ketekunan. 

Tadinya gw pikir,  gw bukan orang yang tekun, fokus dan konsentrasi mudah berubah-ubah, apalagi soal keinginan, jangan ditanya, pagi tahu, siang opor ayam, malamnya sate babi, pokoknya berantakan deh... Dan selama sekian tahun kehidupan gw yang setengah abad +2 tahun ini, baru sejak tiga tahun belakangan ini gw memahami mengapa dulu bokap sering bilang, pinter, IQ tinggi bahkan bakat itu nggak terlalu penting, yang penting itu tekun, harus mau kerja keras. Percuma punya potensi besar kalau tidak digali dan diusahakan, selama-lamanya dia akan jadi seperti talenta yang disembunyikan di bawah bantal, nggak menghasilkan apa-apa.

Iya sih, mirip kayak lo punya tanah besar dan subur dan berada di lokasi terbaik, tapi kalau lo nggak tau tanah itu mau diapain, ya dia ga akan menghasilkan apa-apa. Atau dia mungkin akan menghasilkan sesuatu tetapi tidak semaksimal jika benar-benar diurus dan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu. 

Terus terang saja, saya sudah agak lupa, untuk apa dulu saya menulis draft ini. Draft ini sudah tersimpan lama banget, sejak umur 52, sampai sekarang ini, tinggal hitungan hari aja, saya bakal merayakan ulang tahun yang ke 53. Tapi kayaknya sih ini ada hubungan sama hobi yang selama 4 tahun ini saya tekuni: menggambar dan melukis dengan cat air dan gouache.

Kalau saja dari dulu saya menyadari potensi saya di bidang menggambar ternyata enggak jelek-jelek amat, saya pasti dengan percaya diri mengambil jurusan arsitektur, atau mungkin malah ke fashion design, karena saya nggak suka matematika dan fisika, yang dua-duanya penting buat jurusan arsitektur, tapi payahnya sense of fashion saya juga ga yang terlalu artistik, malah cenderung masa bodo dan lebih suka yang simple-simple. 

Mungkin lebih pas kalo saya ambil jurusan interior design kali ya? Kan, bingung, kan? Eimberrr..

Ini apa sih, bahkan dalam berandai-andai pun masih galau begini 🤭 Ya gitu lah, apa yang bekerja di dalam kepala saya tuh prosesnya semacam itu. I created too many options, many possibilities and got tangled in it. Jadi saya tuh tipe yang justru kebingungan jika diberikan kebebasan tanpa batasan, karena saya punya kecenderungan untuk lebih excited memikirkan begitu banyak variasi kemungkinan yang bisa saya lakukan, lalu bingung, mana duluan yang mau dibikin? 🙄

Buat kalian yang dengan mudahnya bisa fokus melakukan satu hal dan tidak gampang gelisah lalu ingin melakukan hal lain,  kalian sungguh beruntung. Sebab saya nggak begitu. Saya harus menguras tenaga untuk fokus hanya mengerjakan satu hal saja sampai tuntas baru kemudian mengerjakan hal yang berikutnya. Karena dalam kepala saya,  saya pikir saya mampu sekaligus mengerjakan tiga,  empat,  lima,  bahkan mungkin ribuan hal sekaligus dalam satu waktu. Saya pikir saya semacam tuhan,  padahal cuma debunya ampas rengginang. Sad, but true.  

And that kind of truth doesn't hurt,  it is actually the very thing that sets you free. Menyadari bahwa saya belagak jadi tuhan jika pola pikir saya terlalu gazilliontasking, membuat saya mengembangkan rem darurat yang harus segera saya tarik,  begitu arah dan tujuan pikiran saya mulai berantakan dan gatel2 mau lari kesana dan kemari. 

Saya memerlukan batasan2, atau simplenya disiplin diri yang kuat,  yang ga bisa terjadi dalam waktu semalam aja. Ga mungkin juga terjadi kalau saya nggak sadar akar masalah saya apa. Kesadaran ini, adalah langkah pertama bagi saya untuk memahami diri saya, keterbatasan saya, dan menjawab banyak pertanyaan membingungkan kenapa kok saya kerap ga tuntas. Bukan karena bosan. 

Saya bukan orang yang mudah bosan,  jatuh cinta aja sama org yg itu2 lagi ga kelar2 #ehgimana? 😝, abaikan. Saya ga mudah bosan,  saya hanya orang yang ingin semua hal sekaligus. Ibaratnya punya saku baju cuma satu tapi kepingin semua bisa masuk ke situ,  ya kali itu kantong ajaibnya Doraemon haha... Ya kagak terjadilah. Akibatnya,  keteteran. Sebab waktu kan cuma segitu2 aja setiap hari,  dan badan mana mampu disuruh berfungsi tanpa istirahat, belum lagi soal kapasitas otak 😇 yang terbatas ini. 

Demikianlah akhirnya saya menyadari makna setia pada perkara-perkara kecil itu,  jauh lebih dalam. Perkara-perkara kecil, kadang-kadang keliatannya sepele, karena itu kita ingin mengabaikan aja lalu lompat ke perkara-perkara yang nampak jauh lebih penting,  padahal belum tentu kita sudah siap. Atau,  ternyata, God is in the detail, justru perkara-perkara kecil itu yang membentuk perkara-perkara yang lebih besar,  jadi dia ga bisa dianggap remeh, apalagi dilewatkan begitu saja. 

Dalam melakukan perkara-perkara kecil ini pun jangan selalu disambi, sebab dia bakalan jadi numpuk kalau sampingannya kebanyakan. Mustinya cuma ngerjain satu aja beres, tapi malah menyibukkan diri dengan empat sekaligus dan malah jadinya nggak ada yang beres. Sebab saya termasuk orang yang perfeksionis, lebih suka ngulang dari awal daripada ngasih yang menurut standar saya ga memadai, atau lebih baik batal sama sekali drpd ngasih hasil yang ga optimal. Fatal, sebab, bagaimana mau optimal kalau fokusnya terbagi2?

Ada orang2 tertentu yang punya prinsip, yang penting jadi. Dia bisa kerja cepat, meskipun agak asal2an. Ada orang2 yang kerjanya lambat, tapi hasilnya memang bagus. Ada lagi yang kerjanya cepat, fokus dan hasilnya maksimal. Saya bukan ketiganya. Saya berantakan, ga mau hasil asal2an, mau semua selesai dalam waktu bersamaan. Saya bahkan ga paham, sebetulnya saya sedang mau membuktikan apa sih dengan menyusahkan diri sendiri seperti itu? 🤭🤭🤭 Oh ada yang sama? Welcome to the clubbb!!! Mari kita berpelukaaannn!

Makanya, teman2, saya akhirnya bertobat. Dan belajar menerima kenyataan bahwa saya memiliki dorongan2 yang harus saya sadari dan saya kendalikan. Karena, jika tidak saya sadari lalu segera kendalikan, yang terjadi adalah, tidak ada apapun yang selesai saya kerjakan karena keinginan yang terlalu banyak dan muluk-muluk itu.

Yang membuat saya menyadari apa sih masalah saya, adalah umur, haha..iya faktor umur itu membuat kita belajar mengenal diri kita dan pola-pola yang terjadi karena apa yang kita lakukan atau tidak lakukan. Akibat-akibatnya itu yang membuat saya melakukan refleksi dan kemudian sampai pada kesimpulan-kesimpulan, kemudian berusaha menemukan pola yang tepat sehingga ga terus-menerus jatuh ke pola yang salah.

Karena saya tipe yang lebih suka ngulang daripada ngasal, maka saya harus melakukan perencanaan, ga bisa bablas gitu aja, pdhl saya juga tipe yang impulsif, makanya kan jadi serba kontradiktif saat nggak paham sama diri sendiri. Jadi, saya harus menuangkan rencana2 saya sampai tumpah semua dan saya tahu mana yang plausible, mana yang ga ada hubungannya jadi gausah repot2 dipikirkan apalagi dikerjakan. 

Setelah puas, menumpahkan semua unek-unek secara spontan dan impulsif itu, lalu ambil yang plausible-nya, kemudian dipikirin lagi variasinya, dan dari sekian varian itu, mana yang paling saya sukai.

Setelah menemukan beberapa yang saya sukai, beri batasan, maksimal tiga, untuk coba dikerjakan dan yakinkan diri sendiri bahwa hanya perlu satu yang terbaik, tidak perlu tiga2nya. Hitung waktu yang diperlukan, pilih yang paling matang konsepnya untuk dikerjakan dalam batas waktu tersebut.

Nah, ini biasanya ampuh. Karena saya udah ngasih tempat untuk sisi impulsif saya sepuas-puasnya bergerak pada bagian ide-ide awal. Keluarkan semua isi lacinya, tumpah ruah, sampai dia capek sendiri dan tahu udah ga ada lagi yang tersimpan di laci. Lalu saat itu giliran bagian sortir memilah-milah, karena saya tipe yang untuk cuci piring pun ga bisa langsung cuci saat berantakan di dalam bak cuci, saya harus pilah piring2, gelas, garpu-sendok, buang sampah2 sisa makanan yang masih ada, baru kemudian saya bisa mulai mencucinya, nah seperti itu juga proses kerja pikiran saya.

Setelah semua kelar, sudah dikategorikan mana yang mana, kelompok-kelompoknya jelas. Saya jadi lebih tau, mana yang memang harus diabaikan saja, mana yang potensial dan mana yang jadi juaranya. Di sini agak sulit ya, karena saya rakus, maunya semua juaraaaa! Tapi, nggak bisa begitu Marimar 😇🤭 Kamu harus memilih. Di sinilah rem itu penting banget. Karena seringkali saya pikir, kenapa ga bikin tiga2 ide itu aja sekaligus, mereka bagus2 semua dan KAYAKNYA GW BISA eksekusi ketiganya sekaligus. Nope, jangan percaya. Godaan untuk membagi fokus menjadi mirip setipis keripik singkong asin pedas kesukaan saya itu, adalah jebakan betmen paling berbahaya untuk orang-orang dengan kepribadian macam saya yang mengira dirinya jauh lebih mampu daripada kemampuan sebenernya 🤣 Jadi, tegalah untuk mengatakan, TIDAK, kita sama2 tau, kita ga akan mampu. Pilih satu, masukkan yang lain ke dalam laci, ga ada yang terbuang kok, mungkin akan diperlukan untuk proyek yang lain.

Nah, dengan begini, saya memberikan kesempatan untuk keinginan saya yang mau melakukan sesuatu sebaik2nya itu untuk mulai berkarya. Dan mengetahui bahwa saya sudah melakukannya dengan segenap kemampuan saya, biasanya membuat saya bisa berdamai dengan apa yang saya hasilkan. Di situlah saya sadar bahwa papa benar, tekun itu penting, karena saya bukan orang yang punya bakat besar, saya ga jenius, tapi ketika saya berhasil menyingkirkan sampah-sampah yang ga perlu, lalu mulai fokus mengerjakan hanya yang perlu, ternyata hasilnya lebih baik daripada sebelumnya. Iya, ini bicara tentang gambar-menggambar memang.

Bagi orang lain, mungkin tinggal duduk manis dan gambar, apa susahnya. Emang. Tapi bagi orang semodel saya, ternyata yang begitu aja nggak gampang2 amat haha.. Dan saya berdamai dengan diri sendiri, melakukan proses panjang itu hingga suatu saat nanti ia akan jadi kebiasaan yang ga terasa lagi saat dilakukan. Tapi saya ingin tetap memelihara kesadaran, kenapa saya harus melakukan hal itu.

Sunday, June 14, 2020

All is Well, At Last, All Is Well

You are the distant land i have visited before,
linger for awhile, a little too long perhaps.
At last, i am home now
the longing seeped away
through time's porous wings.
And i'm glad,
knowing well, our destiny will never tangled,
our path will never cross again.

All is well, at last.
All. Is. Well.

Tuesday, May 26, 2020

Renungan Tentang Harapan, Cuplikan Naskah Prosa Evaluna (Yang Belum Juga Selesai)

Bagiku, hidup merupakan rangkaian dari peristiwa-peristiwa yang belum tuntas. Masih ada kemungkinan keadaan menjadi lebih baik. Sejarah peradaban manusia sendiri telah membuktikan, situasi seburuk apapun, selalu dapat menjadi lebih baik. Bukti lainnya? Kita semua masih di sini. Hingga hari ini. Entah besok. Entah lusa.

Bila menengok ke belakang, mustahil itu terjadi tanpa adanya pengharapan atau kemauan baik, mengingat betapa kejamnya sekelompok manusia memperlakukan manusia lain, dan tak henti-hentinya peperangan terjadi sepanjang sejarah kehidupan kita, umat yang berjalan tegak di atas kedua kakinya ini. Bahkan, awal peradaban anak cucu Adam dan Hawa, dibuka dengan tragedi, pembunuhan seorang kakak terhadap adiknya, karena insting paling purba, kecemburuan dan iri hati.

Ah, kita cenderung memulai sesuatu dengan buruk. Tetapi entah bagaimana, Kuasa Yang Lebih Tinggi rupanya telah memutuskan kita tak perlu punah serupa nasib para dinosaurus. Dia, sepertinya, melihat  (ada potensi) kita, para pembunuh, pendendam, pembohong, pengingkarjanji ini, dapat menjadi lebih baik. Dan lihatlah hasilnya sekarang. Kita memang dapat menjadi lebih baik. Kita memang membangun peradaban modern yang menakjubkan, meskipun atribut-atribut buruk itu, tak juga kita temukan obat penawarnya. Mereka tetap melekat, mendompleng, bahkan seringkali menjadi ketapel yang melontarkan kita ke kemajuan selanjutnya.

Hitam dan putih, gelap dan terang, memang tak dapat menjadi satu. Tetapi dalam kehidupan di dunia ini, mereka ternyata harus tetap berdampingan. Lalu, sebuah peristiwa, sebuah skenario memaksa kita untuk memilih posisi. Berdiri pada sisi sebelah mana, dan bertahan berapa lama. Di situ, ujian, baru dimulai.

Karena itu aku percaya pada harapan (tentang masa depan yang lebih baik). Aku percaya bahwa selama masih ada orang-orang yang menggenggam harapan di masa-masa paling gelap sekalipun, di masa-masa paling pancaroba, di masa-masa paling getir, di masa-masa titik paling rendah kemanusiaan, akan selalu ada masa depan. Harapan dan masa depan berada dalam satu rentengan kunci untuk membuka pintu-pintu yang masih tertutup. Kebanyakan orang bertahan hidup lebih karena pengharapan adanya masa depan. Aku, juga begitu. 

****

Hihi...tulisan lama, di #ProsaEvaluna, bab #LadyLuck, kisah yang tidak juga ketemu cara untuk menyelesaikannya. Bijimana sih, G?

Entah kapan cerita ini akan selesai dan apakah saya masih berniat menyelesaikannya? Saya belum tahu. Selama masih ada nafas, apa saja mungkin terjadi. Ya kan? 

Tuesday, January 07, 2020

Reynhard Sinaga, Gay Pemerkosa 190 Laki-Laki



Predator bisa keliatan manis2 dan ga berbahaya. Cara yg dipakai juga nggak sadis. Bius dulu, saat korban ga sadar, baru lakukan. Orang ini betul2 menyadari pentingnya kegelapan utk menutupi kejahatan yg dia lakukan. Kalau di internet, ini jenis anonim yang suka komen brengsek banget, tp lo ga tau jejaknya, sbb bisa jd dia justru org paling baik, menyenangkan dan bersahabat dalam kelompoknya. 

Dalam kepala gw nih... korban2 dia, yang kebanyakan suka mabok di pub deket situ, mungkin aja berterimakasih sama dia krn pas mabok dia 'nolongin' mereka shg mrk ga terkapar di jalan tapi ditampung bermalam di apartemen dia. Apalagi, gara2 obat bius itu, mrk sama sekali ga tau udh dia sodomi. Ga heran dia bisa mempraktekkan kejahatannya selama 10 tahunan dan korban begitu banyak, tp kebanyakan ga tau kejahatan sudah dilakukan thdp mrk. 

Apakah dia bisa lakukan hal ini di indonesia? gw ga yakin. Sbb di sini jarang banget org mabok2an kayak budaya di inggris itu (mmg kan org inggris terkenal budayanya adalah minum2, pub dimana2 dan ini yg jd masalah mrk juga) dan biasanya org kita mah gerombolan2 jalan2nya, jd mungkin kesempatan, keleluasaannya yg ga ada, sdgkan di sana, kesempatan terbuka lebar dan leluasa... maka Reinhard pun pesta pora. Tapi ga ada pesta yang tak berakhir dan sepandai2nya tupai meloncat pasti jatuh juga. 

Gini ini trus banyak yg nyalahin kalo beberapa org jd homophobic?

Gw menyadari bahwa perkosaan bukan soal apakah kamu straight atau melambai. Tapi intensitas kejjijikkan terhadap tindak kejahatan ini, memang terasa meningkat ketika kita tau caranya adalah dengan sodomi, tepat seperti yang dilakukan oleh Reynhard ini karena dia gay. Korbannya ya cowok semua, dan cuma 3 yang gay juga, selebihnya hetero. Dan ternyata, dia memang punya niat untuk 'ngerjain' laki-laki bukan gay, untuk jadi korbannya.
https://www.theguardian.com/world/2020/jan/07/tuesday-briefing-dangerous-disturbed-perverted



Dan ya, gw sengaja memilih judul yang labeling gitu, sebab gw merasa, katakan saja apa yang memang ingin dikatakan. Gay or lesbian or homo, ga perlu gw jadikan kata-kata tabu yang takut gw sebut karena kuatir dikatakan homophobic. Tentunya juga tanpa perlu jadi homophobic. 

Well....hello 2020



Sunday, September 23, 2018

Tentang Kematian

Kematian selalu terasa mengganggu. Sebuah interupsi yang tidak menyenangkan. Terutama ketika kematian itu datangnya tiba-tiba, di usia yang masih sangat muda. Atau menimpa orang-orang yang sehat dan baik-baik saja, kemarin masih bertegur sapa, hari ini dengar berita sudah meninggal. Kaget? Pastinya. Ada rasa nyesss di dada. Sulit untuk langsung mencocokkan realita dengan ekspektasi. Ekspektasi kita semua setiap hari pasti sama semua, masih ada besok (makanya kita nggak takut-takut menunda sesuatu) alias kita masih bernafas dan baik-baik saja, demikian juga orang-orang yang selama ini di sekitar kita. Kenyataan seringkali berbeda. 

Hari ini salah satu teman yang kenalnya di dunia maya dan belum pernah ketemu, meninggal dunia. Dia masih muda. Kabarnya, meninggal mendadak karena sakit jantung. Kaget banget mendengar berita itu. Baru baca cuitannya kemarin. Hari ini nggak bakal ada lagi cuitan baru darinya yang akan lewat di linimasa saya.

Hidup ternyata bukan ditentukan sama seberapa tuanya umur kita barulah kematian menjemput. Hidup nggak bergantung sama itu. Hidup bergantung sama sekuat apa tubuh dan alat-alat di dalamnya kuat berfungsi untuk menyandang nafas yang dititipkan di dalamnya. 

Umur kita tuh enggak jadi lebih pendek setiap kita ulang tahun. Enggak. Ulang tahun cuma bukti bahwa badan kita masih bertahan dengan baik sehingga masih mampu ditinggali oleh nyawa ini. Ulang tahun membuktikan bahwa, kita ini masih selamat dari berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa menimpa manusia manapun setiap harinya.

Kematian ini membuat saya berpikir, siapa yang tahu apakah dia masih hidup beberapa menit mendatang? Kita semua nggak tau juga kan sebetulnya? Tapi kita semua percaya, yakin, nggak pernah ragu, bahwa kita akan baik-baik saja. Kenapa? Saya juga nggak tau jawaban pastinya kenapa. Tapi ijinkan saya untuk membuat dugaan-dugaan. 

Mungkin karena, kalau menurut alkitab, ke dalam pikiran manusia ditanamkan bibit pengharapan bahwa kita adalah mahluk-mahluk abadi. Nyawa atau energi yang ada di dalam kita, yang membuat kita hidup, adalah bagian yang abadi itu. Itulah yang membuat manusia memiliki insting kuat untuk bertahan hidup. Itu juga yang membuat kita menjalani kehidupan ini dari hari ke hari dengan keyakinan masih ada hari esok, meskipun kenyataan bahwa kematian bisa datang kapan saja, dimana saja, dengan cara apa saja, melalui apa atau siapa saja, tidak dapat dipungkiri. Tetapi manusia jarang sekali terintimidasi dengan kenyataan itu kan? Manusia malah sering sekali menantang maut dengan melakukan hal-hal yang berbahaya.  Memang aneh kalau dipikir-pikir kan? (Mangkanya, ada yang suka wanti-wantiin gue: jangan kebanyakan mikir, jalanin aja 🤗) 

Eniwei, kembali ke soal kematian yang terjadi hari ini ke teman yang masih berusia relatif muda (30an akhir atau awal 40an) tersebut, saya pikir, bukan masalah berapa lama kita hidup yang seharusnya menjadi fokus utama ya... meskipun kuantitas umur juga bukan hal yang ga penting sih.. Tapi karena kita toh nggak bisa mengendalikan takdir kalau menyoal kematian, jadi seharusnya kualitas hidup yang jadi lebih penting. 

Yang gue maksud dengan kualitas hidup ini juga bukan melulu kita jadi manusia yang sakseus dalam karir/pekerjaan/kekayaan, tapi lebih ke gimana kita menjalani kehidupan sehari-hari. Menetapkan apa-apa atau siapa-siapa saja yang menjadi prioritas kita dan pertanyaannya adalah kenapa mereka menjadi prioritas. Dengan begitu, saat saya pergi secara tiba-tiba atau memang sudah melalui sakit yang lama atau yang sebentar, saya merasa sudah menjalankan hidup ini sehidup-hidupnya.  Atau, kalau orang-orang penting dalam hidup saya itu yang tiba-tiba direnggut dari kehidupan saya, sesedih-sedihnya, sesakit-sakitnya, sedalam-dalamnya kehilangan yang saya rasakan, setidaknya saya tahu bahwa saya sudah mencurahkan bagian terbaik dari diri saya untuk hubungan tersebut.

Akhirnya saya rasa, kematian ada agar kita bisa menghargai kehidupan.

Rest in Peace Murni Rosa dan mereka-mereka yang sudah berpulang lebih dahulu.

Sunday, July 09, 2017

Afi, Fatamorgana Yang Kita Ciptakan Sendiri

Saya mau cerita tentang para tukang nyontek yang fenomenal, teman suka nyontek tapi tetap aja gagal dan hubungan ini semua dengan fenomena Afi yang sedang serujadi bahan gunjingan. As usual, kalo postingannya panjang, saya bakalan ngelantur ke sana dan ke sini. Namanya juga potongan-potongan pokok pikiran, jadi boleh-boleh aja alurnya lompat-lompat kan? *Suka-suka elu lah G!*

Nyontek. Siapa yang nggak pernah nyontek saat sd, smp, sma dan kuliah? Saya berani banget taruhan bahwa cuma sebagian yang bakal angkat tangan dan bangga bilang 'gw enggak!', saya termasuk salah satunya. Cieh G, cieh... Hahaha... sumpah di atas kepala nenek lo, saya memang BUKAN tukang nyontek, ga pernah sibuk bikin krepekan, ga pernah mau nyalin hasil kerjaan orang. Heibat bukan? BUKAN! Sebab selain nggak mau nyontek, saya juga ga rajin belajar, dan ga perhatian sama guru kalo di kelas, yayaya...ketebak lah kalo nilai ujian jebloook adalah garansinya. Semasa smp, saya bahkan seharusnya nggak naik kelas dari kelas satu ke kelas dua, tapi hasil diskusi ortu dengan pater, akhirnya saya dijebloskan ke kelas 'sore', huhu...kelas buangan itu, satu yayasan tapi bukan sekolah yang sama, pokoknya itu memalukan sangat buat kapten volley yang satu ini, dan akibatnya nggak lagi main volley sama sekali. Kegagalan yang memalukan itu, sampai membuat saya ngarang cerita bahwa saya ini bukan saya, saya adalah kembaran saya (yang belakangan, saya 'bunuh' juga, ceritanya dia kena kanker otak dan tewas), lucu dan konyolnyaaa, teman-teman sekelas percaya pulak, hahaha... maaf ya temans *geli-geli gimana gitu*. Iya, segitu gampangnya sebetulnya jadi penipu itu, dan segitu gampangnya orang jadi ragu-ragu lalu percaya kalau kitanya sok yakin aja. Saya mah bukan tukang nyontek, bukaaan, tapi menipu diri sendiri, sering.

Kalau ditanya, apakah para penyontek semuanya jadi juara atau angka-angka ulangannya moncer semua? Ternyata enggak juga. Tapi, ada penyontek yang memang jagoan dan mereka biasanya sindikat dari beberapa orang saling bagi-bagi jawaban. Nahini, penyontek yang fenomenal yang mau saya ceritakan itu. Sebut saja nama mereka Vini, Vidi dan Vici, geng 3V yang selalu masuk peringkat 10 besar karena punya metode nyontek saling bahu-membahu dan menguasai teknik ngrepek yang luar biasa. Di geng ini, belajar untuk ulangan adalah tabu. Nyiapin contekan untuk ulangan, itu norma yang berlaku. Tiga-tiganya anak gaul yang selalu pakek make-up tipis-tipis, sebab di sma kan masih nggak boleh pakai rias wajah saat di dalam lingkungan sekolah. Tiga-tiganya, rok abu-abunya selalu jauh dari atas lutut, kalau duduk ribet sendiri. Rambut mereka rambut khas jaman 80-an, besar-besar (rambut saya juga sama) dan rajin diblow. Mereka ini mahluk super. Social skill-nya ok dan angka rapor hasil nyontek yang mereka lakukan dan akui dengan bangga, juga oke. Masa remaja yang sempurna sih sebetulnya. Vini, si ketua geng, malah lebih hebat pencapaiannya, dia menjadi juara tiga. Konyolnya, kalau disuruh maju ke depan untuk mengerjakan soal, dia pasti blank. Itu saja kelemahannya.

Sebaliknya, ada juga teman cowok, sebut saja namanya Dodol, yang kerjaannya madol dan rajin nyontek juga, tapi karena kerjaannya cabut melulu di jam pelajaran menyebabkan dia nggak bisa mempersiapkan bahan-bahan contekan yang tepat. Akibatnya, angka-angkanya jeblok dan mendapat hadiah akbar, tidak naik kelas alias jadi veteran.

Ya, nyontek juga nggak gampang. Sama kayak nyopet, kalo nggak ahli bisa ketahuan dan habis digebuk masa. Mau nyopet duit seratus ribu doang, nyawa malah melayang atau minimal bonyok total, serem juga lah ya. Yang lebih mudah, menguntungkan, tapi memang kudu perlu harus disertai dengan kerja keras adalah belajar. Kalau belajar, udah pasti bisa, itu beberapa kali saya buktikan sendiri. Nggak ada pelajaran yang terlalu sulit, apalagi di jaman internetan ini ya, semua cara dan jawaban bisa kita cari. Belajar atau mengetahui sesuatu jadi jauh lebih mudah dan menyenangkan. Yang diperlukan adalah fokus, sehingga tahu apa yang ingin dan perlu untuk diketahui dan diinginkan. Ya, fokus dan konsistensi, adalah dua hal penting. Sayang aja saya nggak konsisten sih... kemampuan saya untuk fokus justru membaik setelah makin dewasa. Konsistensi memerlukan latihan dan disiplin. 

Dan apa hubungan kilas-balik membongkar sampah-sampah masa lalu ini dengan fenomena Afi yang terjadi sekarang? Hubungannya adalah, kita ini suka lupa bahwa kita semua pernah remaja, pernah jadi ABG yang ababil. Kita lupa bahwa monster-monster ABG yang sekarang ini, adalah bentuk-bentuk kita dulu, sebelum berubah menjadi manusia normal atau monster berbentuk manusia normal (coba tengok opa-opa di gedung miring). Kita lupa memperhitungkan sisi ketidak-matangan Afi karena sudah terlanjur sibuk membentuknya menjadi Malalafi. Beberapa orang bahkan secara prematur terlanjur menyatakan suara Afi adalah suara kenabian. Kita berharap seorang nabi Malala menjelma, termanifestasi, dari dalam diri Afi. Sayangnya enggak, Afi ya Afi. Dia bahkan ga cukup kesatria mengakui dia cuma copas status, dia melakukan berbagai cara untuk ngeles. Untung dia nggak mengarang punya saudara kembar jahat yang selama ini pura-pura jadi dia di internet, hahaha... mungkin kalo saya jadi Afi bakal gitu ngelesnya. Apakah saya gila? Enggak lah, saya ngarang bebas saat ingin melindungi diri. Afi ya Afi, Afi yang cuma remaja biasa, dia sudah 19 tahun, jadi sudah dewasa muda, tapi tetap saja nggak heran kalau dia belum matang. Gimana mau matang kalau orang dewasa setua Fadli Zon yang anggota Dewan itu saja masih ngaku dia kerja hanya main-main sebab presidennya bukan Prabowo. Afi yang 19 tahun, dengan Zon yang 40something berada di zona yang sama. Ironis memang, tapi kenyataannya ya begitu. Bandingkan juga dengan gaya ngeles Rizieq, yang bersikeras dia dikriminalkan, apa nggak mirip-mirip? Afi ya Afi, Afi yang cuma remaja biasa, pengguna medsos. Dan sama kayak saya dan kamu, kita dan mereka, kami dan kalian, sama-sama pengkonsumsi status-status terusan yang dicopas dari messenger saat percaya bahwa tulisan-tulisan itu mengartikulasikan dengan jelas apa yang kita pikirkan, rasakan dan yakini.

Cuma beda nasib aja dengan kebanyakan kita, Afi mengalami kemujuran seperti Femi yang jadi juara 3 karena menyontek secara konsisten, Afi menjadi tenar karena status dan kemudaannya itu sesuai dan mewakili segolongan orang untuk menampar kelompok lain yang berseberangan.

Bagi sebagian kita, ditengah minimnya idola muda yang cerdas dan jernih, Afi muncul seperti sebotol cola dingin di hari yang panas saat kita kepingin banget minum yang seger-seger dan punya gaya. Kita berharap banyak saat melihat botol dingin itu, kita berharap airnya bisa memuaskan dahaga kita. Sayangnya, Afi bukan cola dingin yang kita harapkan. Afi adalah kita, Afi adalah bagian dari kita yang kehausan. Halusinasi kita mengubahnya menjadi sebotol cola dingin. Dia adalah fatamorgana yang kita ciptakan bersama, dan Afi menikmatinya, padahal dia sedang terperosok ke dalam pasir isap. Saya sedang menunggu ada Indiana Jones yang tiba-tiba muncul dan menariknya keluar, sementara kita sibuk bertengkar.