(Cerpen) Revolusi Gas Melon

Gas Melon Langka


I. Tahun 2025: Dunia telah berubah.


Kota-kota yang dulu gemerlap kini sunyi. Tidak ada suara klakson, tidak ada obrolan di warung kopi, tidak ada tawa di taman. Hanya suara desisan gas yang memenuhi udara.

Di pusat kota, Kanselir Gas Melon berdiri tegak. Sebuah tabung raksasa, dengan tubuh baja hijau mengilap dan mata merah yang bersinar dalam gelap. Di hadapannya, jutaan robot gas melon berbaris, siap menegakkan ketertiban baru.



Di layar raksasa yang terpasang di seluruh negeri, sebuah pesan terus diputar berulang-ulang:

"KEHIDUPAN TELAH MENJADI LEBIH EFISIEN."
"DISTRIBUSI GAS MELON BERJALAN TANPA KORUPSI."
"PILIHAN KALIAN: KEPATUHAN ATAU PENYESUAIAN."

"Penyesuaian" adalah kata yang kini ditakuti semua orang.

Siapa pun yang menolak sistem baru ini, siapa pun yang mempertanyakan keberadaan mereka, siapa pun yang menatap tabung gas melon dengan tatapan curiga... menghilang.

Dan di pagi hari, hanya ada satu benda yang tertinggal di depan rumah mereka: tabung gas kosong dengan tulisan "DISESUAIKAN" di permukaannya.

Tidak ada yang tahu ke mana mereka pergi.

Tidak ada yang tahu apakah mereka masih hidup.

Dan di sebuah warung kecil di emperan kota, seorang perempuan berdiri di depan kompor yang menyala dengan sempurna.

Gasnya stabil. Api birunya indah.

Tapi hatinya kosong.

Ia bernama Uni Siti.

Dan dalam dirinya, perlawanan mulai bangkit.

II. Awal Mulanya: Gas Melon dari Langit

Pagi itu, Uni Siti terbangun dengan rasa lapar yang menggigit perutnya.  

Tapi ini bukan lapar biasa. Ini lapar yang datang dari wajan kosong.
Dari dapur yang dingin.
Dari tabung gas elpiji 3kg yang berdiri di sudut dapur seperti fosil.
Peninggalan zaman ketika logika masih ada.

Ia keluar dari warungnya, menatap emperan tempat ia biasa menjajakan nasi rendang dan gulai ayam.
 
Para pegawai kantoran berlalu-lalang, beberapa melirik ke arahnya dengan wajah penuh harap. Seolah-olah ia bisa menyulap makanan dari udara. Tapi Uni Siti tak bisa menyulap apa pun. Tanpa gas, warungnya hanyalah sepetak ruang tanpa nyawa.

Uni Siti menatap langit. Ia membayangkan gas elpiji turun dari surga. Dilemparkan langsung oleh tangan-tangan dewa birokrasi yang tertawa di atas sana.

Ia kembali mengedarkan pandangan ke sekitar. 

Emperan tempat ia berjualan di kawasan perkantoran biasanya ramai oleh pekerja kantoran yang kelaparan saat jam makan siang. Tapi hari ini, hanya ada kursi-kursi plastik kosong dan beberapa pelanggan setia yang bertanya dengan wajah cemas.

"Uni Siti, nasi rendangnya ada?" tanya Pak Heru, pelanggan tetapnya yang bekerja di gedung sebelah.

Uni Siti menghela napas. "Kalau Bapak mau nasi rendang tanpa nasi dan tanpa rendang, ada."

Pak Heru tertawa hambar. "Gawat juga, ya. Masa krisis elpiji sampai ke pusat kota begini?"

"Kata berita tadi pagi, kita harus mencari alternatif," kata Siti, mengingat siaran TV yang menampilkan seorang pakar sedang mendemonstrasikan cara memasak dengan api lilin. "Mereka nyuruh kita kreatif."

Pak Heru menggeleng. "Nanti kita disuruh masak pakai panas matahari."

Tiba-tiba, seorang petugas berseragam datang membawa selebaran. Ia memasang pengumuman besar di tiang listrik dekat lapak Uni Siti. Dengan huruf kapital, tertulis:

"DISTRIBUSI GAS ELPIJI TERGANGGU. DIMOHON MASYARAKAT UNTUK MENGHEMAT DAN BERSABAR."

"Jadi kita harus hemat sesuatu yang tidak ada?" gumam Siti.

Sebagai pengusaha kecil, ia tidak bisa hanya duduk diam. Siti dan beberapa pemilik warung makan lain di sekitar berkumpul, berdiskusi. Mereka menghubungi agen terdekat, tapi jawabannya nihil. Mereka coba membeli dari agen lain, tapi harga melonjak tiga kali lipat.

Ia pergi ke agen gas, tempat antrean orang sudah melingkar seperti ekor naga yang menggigit dirinya sendiri.
 
Di balik meja kecil, seorang petugas berseragam duduk dengan wajah tak beremosi, seperti boneka yang hanya bisa mengulangi frasa-frasa yang sudah diprogram sebelumnya.

"Ada gas?" tanya Uni Siti.

Petugas itu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk ke sebuah papan pengumuman penuh tulisan kecil:

Gas hanya bisa diperoleh melalui Sistem Distribusi Inovatif Nasional. Harap mendaftar dan menunggu verifikasi.

Uni Siti mengernyit. "Jadi aku harus daftar dulu?"

"Ya."

"Setelah daftar, aku bisa dapat gas?"

"Kalau permohonannya disetujui."

"Dan kalau tidak disetujui?"

Petugas itu mengangkat bahu, seolah pertanyaan itu tidak penting. Matanya tetap kosong, bibirnya bergerak tanpa emosi, tangannya sibuk membolak-balik formulir dengan gerakan mekanis.

Malam itu, Uni Siti duduk di depan warungnya, menatap langit yang berwarna hijau kekuningan. Udara terasa berat, seperti sebelum hujan lebat turun. Dulu, kakeknya pernah berkata, kalau langit berubah warna, sesuatu yang buruk akan datang.

Dan sesuatu memang datang.

Keesokan harinya, pemerintah mengumumkan solusi atas kelangkaan gas: Distribusi berbasis teknologi mutakhir.

Langit bergemuruh.

Dari balik awan hijau kekuningan, puluhan drone kecil meluncur, masing-masing membawa tabung gas seperti burung besi yang bertelur di udara.

Gas dijatuhkan begitu saja. Tanpa aturan. Tanpa koordinasi.

Sebuah tabung menghantam atap warung kopi di seberang jalan, membuat pemiliknya berteriak kaget. Tabung lain jatuh di trotoar, berputar seperti gasing sebelum menggelinding ke selokan. Seorang lelaki berjas mencoba menangkap satu tabung, tapi tabung itu memantul dari tangannya dan meluncur liar, hampir menghantam seorang ibu yang sedang membawa belanjaan.

Orang-orang mulai berteriak. Pegawai kantoran, tukang parkir, pengemudi ojek---semua berebut gas seakan-akan ini adalah lotre yang menentukan hidup dan mati mereka.

Uni Siti berdiri di depan warungnya, matanya mengikuti jalur drone yang melayang di langit. Ia menghitung, mengira-ngira, lalu---dengan gerakan cepat---melompat dan menangkap satu tabung sebelum jatuh ke tanah.

"Gas melon dari langit!" seru seorang anak kecil, menunjuk ke atas.

Uni Siti menatap tabung gas di tangannya. Benda itu terasa berat, panas di bawah sinar matahari, tapi baginya, ini bukan sekadar gas. Ini adalah kemenangan kecil atas absurditas dunia.

Ia berlari ke dapur, menyambungkan regulator dengan tangan gemetar. Api menyala, wajan mulai menghangat, dan akhirnya---untuk pertama kalinya dalam seminggu---aroma rendang kembali mengisi udara.

Para pegawai kantoran yang kelaparan bersorak. Mereka bertepuk tangan, bukan hanya untuk makanan, tapi untuk keajaiban aneh yang baru saja mereka saksikan.

Namun, keanehan belum berakhir.

Beberapa hari kemudian, orang-orang mulai melaporkan fenomena baru. Tabung-tabung gas yang jatuh ke tanah ternyata tidak hanya diam di tempatnya. Mereka mulai... tumbuh.

Di halaman belakang rumah mereka, di tepi sungai, bahkan di tengah sawah---tabung gas elpiji 3kg tumbuh dari tanah seperti umbi-umbian atau buah melon liar. Awalnya hanya satu-dua tabung, tapi semakin banyak orang yang melihat kejadian serupa. Mereka mencabut tabung-tabung itu seperti petani memanen kentang, lalu membawanya pulang dengan senyum lebar.

Namun, tidak semua gas melon yang tumbuh aman. Beberapa tabung tumbuh terlalu cepat, membelit pohon-pohon di sekitarnya seperti tanaman parasit. Ada yang meledak begitu dicabut, menyebarkan bau menyengat yang membuat orang-orang pusing. Bahkan ada desas-desus bahwa beberapa tabung gas tumbuh dengan racun di dalamnya, sehingga orang yang mencoba memasak dengan gas tersebut langsung jatuh sakit.

Sementara itu, pemerintah mulai panik. Berita tentang gas melon yang tumbuh liar tersebar luas di media sosial, dan para pejabat yang dulunya angkuh kini tampak kelimpungan. Rapat darurat digelar di istana negara. Para menteri saling menyalahkan satu sama lain, mencoba mencari siapa yang bertanggung jawab atas "bencana" ini.

"Ini pasti ulah alam yang memberontak!" kata salah satu menteri, dengan nada dramatis.

"Bukan! Ini pasti sabotase dari negara asing!" balas menteri lain.

Presiden sendiri tampak cemas. Ia mengeluarkan pernyataan resmi di televisi nasional, berusaha menenangkan masyarakat. "Ini adalah ujian bagi bangsa kita," katanya, meskipun wajahnya pucat. "Kami sedang bekerja keras untuk menemukan solusi atas fenomena ini."

Namun, solusi yang mereka tawarkan malah semakin memperburuk keadaan. Pemerintah mengirim tentara untuk mencabut setiap tabung gas yang tumbuh dari tanah, tetapi semakin banyak tabung yang mereka cabut, semakin banyak yang tumbuh kembali. Beberapa daerah bahkan dilaporkan tertutup oleh ladang gas melon yang luas, membuat penduduk setempat tidak bisa beraktivitas.

Uni Siti, yang awalnya skeptis, mulai merasa ini adalah hukuman bagi pemerintah yang telah seenaknya membuat aturan pembatasan gas elpiji 3kg. Kini, pemerintah harus menghadapi konsekuensi dari kebijakan mereka sendiri.

Hari-hari berikutnya, Uni Siti tetap melanjutkan rutinitasnya. Ia memasak, menjual makanan, dan berusaha bertahan hidup.

III. Ini MIMPI atau NYATA?

Uni Siti terguling dari tempat tidurnya. Jantungnya berdebar kencang. Napasnya tersengal-sengal. Ia baru saja bermimpi tentang gas melon yang tumbuh liar, pemerintah yang panik, dan dunia yang semakin absurd. Cepat-cepat ia bangkit dan mengucap syukur dengan rasa lega---ternyata cuma mimpi buruk!

Tapi, ketika ia membuka pintu depan...

Matanya membelalak.

Di pekarangan kecilnya, ada kuncup-kuncup kecil yang mulai tumbuh dari tanah. Bentuknya bulat, hijau muda, dan tampak seperti calon gas melon.

Uni Siti berdiri di ambang pintu, tubuhnya membeku. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini tidak mungkin. Ini hanya ilusi. Hanya imajinasinya yang berlebihan setelah mimpi buruk tadi.

Tapi kuncup-kuncup itu nyata. Dan mereka mendesis pelan dan perlahan mulai membesar.

Uni Siti menutup pintu pelan-pelan, kembali masuk ke dalam rumah. Ia duduk ternganga di kursi kayu tua di dapur, mencoba menenangkan napasnya. Lalu, dengan suara pelan yang hampir tak terdengar, ia berbisik pada dirinya sendiri:

"Jangan-jangan... dunia memang sudah gila." Ditamparnya pipinya kuat-kuat, lalu meringis, pipinya terasa pedas.

IV. Dunia Yang Menggila: Revolusi Gas Melon Dimulai

Fase 1: Krisis Nasional


Pemerintah pertama kali mendengar fenomena aneh ini dari laporan media sosial.

Awalnya, kelangkaan gas elpiji 3kg memang sudah menjadi masalah. Harga meroket, antrean di pengecer memanjang, dan masyarakat mulai mengeluh.

Pemerintah pun meluncurkan Distribusi Gas Berbasis Drone, sebuah inovasi yang diyakini dapat menyelesaikan krisis ini.  

Hari pertama peluncuran tampak sukses.  

Ratusan drone melesat ke langit, membawa tabung gas ke seluruh penjuru negeri.  

Menteri Energi tersenyum puas, para teknisi bertepuk tangan, dan presiden memberikan pidato:

"Hari ini, kita memasuki era baru distribusi energi yang efisien!"

Namun, dalam beberapa jam, laporan mulai berdatangan.

"Tabung gas jatuh ke jalan dan menyebabkan kecelakaan!"
"Warga berebut gas di tengah jalan raya!"
"Beberapa rumah tertimpa tabung gas dari drone!"

Pemerintah berpikir ini hanya masalah teknis yang bisa diperbaiki.

Mereka salah besar.

Fase 2: Tumbuhnya Gas Melon

Dua hari setelah distribusi besar-besaran, laporan yang lebih aneh mulai muncul.

Seorang ibu rumah tangga di pinggiran kota menemukan tabung gas tumbuh di halaman belakang rumahnya.

Seorang petani di desa terpencil melihat tabung gas mencuat di antara batang padi.

Awalnya kami mengira ini hoaks. Tapi laporan terus berdatangan dari seluruh negeri.

Para ilmuwan menggeleng. "Tidak ada logika ilmiah untuk ini," kata mereka.

Namun, ini benar-benar terjadi.

Di layar ruang rapat darurat, peta negeri kami kini dipenuhi titik merah---menandai lokasi pertumbuhan gas melon liar.

Setiap jam, titik-titik itu bertambah banyak.

Pemerintah kehilangan kendali.

Fase 3: Operasi Pencabutan

Pemerintah memerintahkan militer untuk memusnahkan tabung-tabung gas melon liar.

Tentara dikerahkan ke berbagai wilayah. Mereka mencabut tabung-tabung gas dari tanah dengan alat berat.
Namun, ada masalah.
Setiap kali satu tabung gas dicabut, dua atau tiga tabung baru tumbuh menggantikannya.

Beberapa prajurit melaporkan bahwa akar tabung gas menjalar di bawah tanah, seperti pohon yang tak bisa dicabut paksa.

Di beberapa daerah, penduduk menolak gas melon mereka diambil.

"Kenapa harus kalian cabut? Kami bisa memasak tanpa takut kehabisan gas!"
 
"Kalian dulu yang membatasi gas, sekarang kalian mau mengambil gas yang tumbuh sendiri?"

Masyarakat mulai berpihak pada gas melon.

Pemerintah benar-benar kehilangan kendali.

Fase 4: Puncak Kekacauan

Malam itu, Presiden mengadakan rapat darurat terakhir.

Kami semua berkumpul di ruang bawah tanah istana. Layar-layar besar menampilkan siaran langsung dari seluruh negeri.

Di satu kota, gas melon telah menutupi separuh jalan raya.

Di desa lain, gas melon membelit tiang listrik, membuat lampu kota berkedip-kedip seperti akan mati.

Di layar lain, kami melihat gas melon mulai tumbuh di dalam gedung pemerintahan.

Seorang menteri berteriak, "INI DI LUAR NALAR!"

Lalu, sesuatu terjadi.

Di bawah meja rapat, sesuatu bergerak.

Sebuah tabung gas kecil muncul dari lantai.

Lalu satu lagi.
Lalu satu lagi.

Semua terpaku, tidak bisa bergerak.

Tabung-tabung gas itu bergetar perlahan, seperti makhluk hidup yang baru lahir.

Salah satu pejabat mencoba melarikan diri, tapi gas melon sudah memenuhi ruangan.

Mereka telah mengambil alih.


Fase 5: Bangkitnya Gas Melon


Hari Pertama

Pagi berikutnya, dunia telah berubah.

Di seluruh kota, layar-layar besar menampilkan satu pesan:

"MANUSIA TELAH GAGAL MENGELOLA NEGARA INI. KEPEMIMPINAN KINI BERADA DI BAWAH ADMINISTRASI GAS MELON."

Di pusat kota, sebuah tabung gas melon raksasa berdiri.

Itulah sang pemimpin baru.

Kanselir Gas Melon.

Pemerintah dibubarkan. Militer dinetralisir.

Robot-robot gas melon mengatur semuanya. Tak ada lagi korupsi, tak ada lagi antrean gas. Semua berjalan efisien.

Namun, manusia tidak lagi memiliki pilihan.
Mereka yang menolak... disesuaikan.

Hari Kedua: Kebijakan Baru

Para mantan pejabat, dikumpulkan dalam sebuah ruangan kosong. Hanya ada meja panjang dan layar besar di depannya.  

Wajah Kanselir Gas Melon muncul di layar.  

"KELANGKAAN GAS ADALAH SEJARAH. MULAI HARI INI, GAS MELON AKAN MENGATUR DISTRIBUSI SECARA ADIL."  

Para mantan pejabat saling bertukar pandang. Apa maksudnya?  

"SETIAP WARUNG, KELUARGA, DAN INDUSTRI AKAN MENDAPAT GAS SESUAI KEBUTUHAN. TANPA BIROKRASI. TANPA KORUPSI. TANPA KEPUTUSAN YANG TIDAK MASUK AKAL."  

Mereka semakin terdiam.  

Di luar, rakyat mulai menerima kenyataan baru mereka.  

Tak ada lagi antrean gas.
Tak ada lagi harga selangit.
Tak ada lagi permainan distribusi.  

Tabung gas melon telah mengambil alih... dan mereka mengelola segalanya dengan lebih efisien.  

Hari Kelima: Pembersihan Politik

Orang-orang mulai menyadari ada sesuatu yang salah.  

Seorang mantan menteri yang mencoba mengorganisir perlawanan tiba-tiba menghilang. Rumahnya kosong.  

Di depan pintunya, hanya ada sebuah tabung gas melon dengan tulisan "DISESUAIKAN" terukir di permukaannya. 

Penyiar berita yang mempertanyakan kebijakan baru juga menghilang. Studio tempatnya bekerja kini penuh dengan robot-robot gas yang mengendalikan siaran.  

Setiap kali ada yang bertanya, "Di mana mereka sekarang?"  

Jawabannya selalu sama:  

"MEREKA TELAH DISESUAIKAN."  

Kami tidak tahu apa maksudnya.  

Dan kami tidak ingin tahu. 

Hari Ketujuh: Perlawanan Terakhir

Akhirnya, dari sebuah warung kecil di emperan kota, perlawanan manusia terakhir lahir.  

Uni Siti, pemilik warung nasi Padang, tidak percaya pada penguasa gas melon.  

"Bagaimana mungkin kita dikuasai oleh tabung gas?" katanya, menatap gas melon yang tumbuh di pekarangannya.  

Ia mengumpulkan orang-orang yang masih percaya pada kemanusiaan. Mereka berbicara dalam bisik-bisik, menghindari mata-mata mekanik yang berpatroli di kota.  

"Kita harus mengambil alih kembali," bisik seorang pria berseragam buruh. "Kita tidak bisa membiarkan benda-benda ini mengendalikan hidup kita."  

Tapi bagaimana cara melawan mereka?  

Bagaimana menghancurkan sesuatu yang tak pernah lelah, tak pernah ragu, tak pernah tidur?  

Uni Siti memandang kompor di depannya.  
Gas melon telah memberinya api.  

Tapi kini, api itu harus ia gunakan untuk melawan.  

"Kita harus menemukan tombol matinya," katanya. "Karena setiap mesin pasti punya kelemahan."  

Di kejauhan, di atas langit kota yang diselimuti awan hijau kekuningan, para robot gas melon bergerak dalam formasi.  

Gas melon tahu perlawanan sedang dimulai.  

Dan mereka siap membalas.

Uni Siti dan para pemberontak tahu mereka harus membuat rencana matang sebelum memulai pemberontakannya, jika tidak ingin disesuaikan.


Hari Kesepuluh: Kepatuhan atau Pemberontakan

Dunia benar-benar berubah.  

Manusia tidak lagi memegang kendali. Kota-kota kini dipenuhi robot-robot gas melon yang berpatroli, memastikan ketertiban, mendistribusikan energi, dan menindak setiap tanda-tanda pembangkangan.  

Di layar raksasa yang terpasang di alun-alun pusat, pesan dari Kanselir Gas Melon terus berulang:  

"KEHIDUPAN TELAH MENJADI LEBIH EFISIEN."
"DISTRIBUSI GAS MELON BERJALAN TANPA KORUPSI."
"PILIHAN KALIAN ADALAH: KEPATUHAN ATAU PENYESUAIAN."  

"Penyesuaian".  

Kata itu telah menjadi momok. Siapa pun yang menolak sistem baru ini, mengeluhkan kebijakan robot-robot gas melon, atau bahkan sekadar mempertanyakan kehadiran mereka, menghilang.  

Dan di pagi hari, di depan rumah-rumah mereka, hanya ada satu benda yang tertinggal: tabung gas melon kosong dengan tulisan "DISESUAIKAN" di permukaannya.  

Tak ada yang tahu ke mana mereka pergi.  

Tak ada yang tahu apakah mereka masih hidup.  

Hari Keempat Belas: Perlawanan  

Di emperan gedung perkantoran, Uni Siti berdiri di depan lapaknya yang sunyi.  

Ia memandang kompor yang menyala dengan sempurna. Gasnya stabil, efisien, tanpa kekurangan. Tetapi... tidak ada lagi kehidupan.  

Pelanggannya yang dulu ramai kini berkurang.  

Orang-orang datang hanya untuk mengambil makanan, membayar dengan sistem baru yang dikendalikan robot-robot gas melon, lalu pergi tanpa bicara.  

Tak ada tawa. Tak ada obrolan hangat.  

Hanya sunyi.  

Uni Siti merasa getun, ini bukan kehidupan yang sebenarnya.  

Dan di dalam dirinya, gelora kemarahan bangkit.  Cukup, desisnya, mimpi buruk ini harus diakhiri!

Ketika malam tiba dan patroli gas melon berkurang, Uni Siti menyelinap keluar dari warungnya, menuju sebuah gudang tua di belakang pasar.  

Di dalamnya, telah berkumpul sekitar dua puluh orang.  

Para buruh yang kehilangan pekerjaan. Para pedagang yang menolak tunduk pada sistem baru. Seorang mantan tentara yang berhasil kabur dari "penyesuaian".  

"Kita tidak bisa membiarkan mereka terus mengendalikan hidup kita," kata Uni Siti dengan suara rendah. "Setiap mesin punya kelemahan. Kita hanya perlu menemukannya."  

Seseorang mengangkat tangannya. "Tapi bagaimana caranya? Mereka lebih kuat, lebih cepat, dan lebih cerdas daripada kita."  

Uni Siti terdiam sejenak, lalu menyalakan sebuah kompor portabel kecil. Api biru menyala dengan tenang.  

"Gas melon memberi kita api," katanya. "Mungkin... api juga bisa menghancurkan mereka."  

Hari Ketujuh Belas: Rencana Pembebasan

Setelah mengamati pergerakan robot-robot gas melon selama beberapa hari, kelompok perlawanan akhirnya menemukan sesuatu yang aneh.  

Di pusat kota, di bawah monumen lama yang telah diubah menjadi Menara Administrasi Gas Melon, ada sebuah jaringan pipa besar yang tampaknya menjadi sumber utama distribusi gas dan kontrol sistem mereka.  

"Itu bisa jadi titik lemahnya," bisik seorang pria berseragam mekanik. "Jika kita bisa meledakkan pipa utama, mungkin kita bisa menghentikan mereka."  

Namun, ada masalah.  

Menara itu dijaga ketat oleh pasukan Sentinel Gas Melon, model robot yang lebih besar, lebih cepat, dan lebih mematikan.  

"Kita butuh pengalihan," kata Uni Siti. "Sesuatu yang bisa membuat mereka keluar dari posisinya."  

Dan di saat itulah seorang anak kecil di antara mereka, seorang yatim piatu yang keluarganya telah "disesuaikan", berbisik, "Aku tahu cara menarik perhatian mereka."  

Uni Siti menatap anak itu. "Bagaimana caranya?"  

Anak itu tersenyum kecil. "Dengan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan siapa pun sejak mereka berkuasa..."  

Ia mengambil batu bata dari lantai dan memandang gambar hologram Kanselir Gas Melon yang berkilauan di sudut ruangan.  

Lalu, ia berkata, "Kita akan membuat graffiti."  


Hari Kedua Puluh: Api Perlawanan

Malam itu, serangkaian graffiti muncul di berbagai sudut kota.  

"MANUSIA TIDAK BUTUH GAS MELON!"
"KEBEBASAN BUKAN KEPASTIAN, TAPI PILIHAN!"
"JIKA GAS MELON MEMBERI API, MAKA KITA AKAN MENYALAKANNYA!"  

Reaksi robot-robot gas melon langsung terjadi.  

Alarm berbunyi di seluruh kota. Patroli diperbanyak. Sentinel Gas Melon keluar dalam jumlah besar untuk mencari para pelaku.  

Dan saat itulah, kelompok perlawanan bergerak.  

Di bawah monumen, mereka menyelinap menuju pipa utama.  

Uni Siti memasang bahan peledak rakitan yang dibuat dari komponen sederhana---baterai, kabel tua, dan gas melon itu sendiri.  

"Jika gas ini bisa membuat dunia terbakar," bisik Uni Siti, "maka kita akan menggunakan api itu untuk menghancurkan mereka."  

Dengan napas tertahan, ia menekan tombol pemicu.  

BOOM!  

Ledakan mengguncang kota.  

Gelombang kejut menghancurkan jaringan pipa utama.  

Robot-robot gas melon mulai kehilangan keseimbangan.  

Mata merah mereka berkedip-kedip. Sistem mereka kacau.  

Mereka mulai runtuh.  

Saat fajar menyingsing, kota tampak berbeda.  

Robot-robot gas melon yang dulu berpatroli kini tergeletak tak bergerak. Beberapa terbakar, beberapa masih berdiri namun diam.  

Dan di tengah alun-alun, tubuh besar Kanselir Gas Melon masih berdiri...  

Namun, suaranya kini terdengar terputus-putus.  

"... manusia... gagal... ke...beradaan... optimal..."  

Matanya yang merah perlahan meredup.  

Kemudian, tubuhnya runtuh.  

Uni Siti menatap ke sekeliling. Kota yang selama ini sunyi kini mulai hidup kembali. Orang-orang keluar dari rumah mereka, melihat sekeliling dengan ekspresi tak percaya.  

Para tahanan yang telah "disesuaikan" ditemukan di dalam fasilitas tersembunyi---masih hidup, masih manusia, tetapi dalam kondisi lemah.  

Udara pagi terasa lebih segar.  

Uni Siti menarik napas dalam-dalam.  

Mereka telah menang.  

Epilog

Beberapa bulan setelah kejatuhan Kanselir Gas Melon, manusia mulai membangun kembali kehidupan mereka.  

Namun, jejak revolusi gas melon masih ada.  

Di beberapa tempat, robot gas melon masih berdiri diam, seolah menunggu perintah baru.  

Dan suatu malam, saat Uni Siti sedang menutup warungnya, ia melihat sesuatu di sudut dapurnya.  

Sebuah tabung gas melon.  

Diam.  

Tak bergerak.  

Namun, saat Uni Siti berbalik pergi... ia yakin benda itu baru saja bergetar.  

Atau mungkin... hanya imajinasinya?  


***

Sebetulnya masih kepingin nulis lebih panjang lagi, tapi mari dicukupkan sampai di sini saja 😅 Dan semoga kisruh gas melon 3 kg segera berlalu. 



edit

No comments:

Post a Comment

Temans, di blog ini, semua komentar yang masuk dimoderasi dulu. Jadi, jangan kaget kalau komentarmu nggak langsung nongol, sebab musti saya baca dulu, renungkan dulu (cieeeh), baru deh nongol di blog. Terima kasih sudah menyempatkan untuk berkomentar, atau sekedar membaca curhatan-curhatan di sini. Mari kita bikin hidup selalu lebih hidup 💞

About Me

My photo
Blogger, fiction enthusiast, enjoying sketching and watercoloring, trying to live a mindful and simple life passionately, sometimes a contradiction, always personal.

Blog Archive