Cerpen: Labirin Simpang Dua
Thursday, November 28, 2024
Aku dan Labirin
Nama hanya akan membuat sesuatu lebih berat. Aku tidak memberinya nama. Aku membiarkannya tetap kosong, seperti pintu tanpa kunci. Orang-orang di tempat ini memanggilnya labirin, tempat segalanya berjalan tapi tak pernah selesai.
Di sepanjang labirin itu, aku membiarkan tubuhku berbicara, membiarkan nafas mereka—Pras dan Rizal—mengukir dosa-dosa di kulitku. Labirin ini tidak diam. Ia lapar. Ia haus. Dan aku adalah isinya, yang memuaskan sekaligus ditelan olehnya.
Dua Nama di Tubuh yang Sama
Tubuh ini mengingat semuanya, seperti kaset rusak yang tak pernah berhenti mengulang lagu yang sama. Sentuhan Pras terasa seperti kertas kerja: rapi, rutin, memuakkan. Sentuhan Rizal seperti api, membakar tapi tidak memberi terang.
Malam itu aku berdiri di depan cermin kamar mandi. Cahaya remang membuat tubuhku terlihat seperti bayangan buram. Dua jiwa tumbuh di dalam tubuh ini. Dua nama. Dua lelaki.
“Bayi ini kembar,” kata dokter. Aku tertawa kecil. Ironi itu seperti arak murahan. Rasanya pahit tapi membuatmu ketagihan.
Jakarta, Pelacur yang Malas Berdandan
Jakarta adalah pelacur tua yang malas berdandan. Luka-lukanya disembunyikan di balik bedak tebal lampu-lampu jalan. Kami semua tahu ini kota berdosa, tapi kami tetap tinggal.
Aku tinggal dengan Pras, suamiku, di sebuah apartemen yang lebih mirip kotak kaca. Semuanya terorganisasi, seperti diagram alur. Tapi di dalam kotak itu, aku hanya cangkang kosong.
Lalu ada Rizal, pria yang hidup seperti badai: tidak peduli ke mana ia akan menghantam. Kami sering bertemu di bar kecil di belakang ruko-ruko tua. Tidak ada meja bernama di sana. Semua adalah lorong, semua adalah gelap.
“Kenapa kau terus kembali padaku?” tanyaku, sambil menyesap bir yang terlalu hangat.
Dia hanya tersenyum. Senyum itu membuatku muak sekaligus ingin terus memandanginya.
“Karena aku belum selesai denganmu.”
Rahasia di Dalam Ranjang
Setiap malam, ranjang itu menjadi saksi perang. Tubuhku ada di sana, tapi pikiranku tidak. Ketika Pras meniduriku, aku memikirkan Rizal. Ketika Rizal memelukku, aku bertanya-tanya kapan Pras akan mencium bau dosa di kulitku.
Pras bukan orang bodoh. Tapi dia juga bukan orang yang peduli. “Kita akan baik-baik saja, kan?” tanyanya suatu malam, tangannya menggenggam tanganku seperti alat bukti. Aku tidak menjawab. Diam adalah kebohongan paling aman.
Rizal berbeda. Dia tidak meminta penjelasan. Dia hanya datang, merampas, lalu pergi, seperti pencuri.
Tubuhku adalah labirin tempat mereka bertemu tanpa pernah saling menyapa.
Anak-anak Labirin
Ketika anak-anak itu lahir, aku tahu labirin ini telah memuntahkan rahasianya. Anak laki-laki itu membawa garis wajah Pras, seperti cetakan yang sempurna. Anak perempuan itu adalah bayangan Rizal, dengan mata yang terlalu tajam untuk seorang bayi.
Pras tidak bertanya. Dia hanya mengamati mereka seperti seseorang memandangi peta jalan, mencoba menemukan arah tapi terlalu malas untuk bergerak. Rizal? Dia bahkan tidak pernah melihat mereka.
Aku memberi nama kepada anak-anak itu, nama-nama yang tidak pernah kubisikkan kepada siapa pun. Mereka adalah anak-anak labirin, tercipta dalam lorong-lorongnya yang penuh teka-teki tetapi dengan nafasku bersama nafas mereka menjadikannya tempat aman untuk tumbuh, milikku sepenuhnya.
Perang di Labirin
Jakarta menua bersamaku. Rahasia yang kubawa mulai terasa seperti granat di dalam perut. Aku melihat Pras mengamatiku dengan mata yang sudah lelah berpura-pura. Suatu malam, dia berdiri di depan jendela.
“Kamu pikir aku tidak tahu?” katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada padaku. Aku tidak menjawab. Kata-kata hanya akan mematahkan kami lebih cepat.
Rizal sudah lama pergi. Dia seperti bayangan yang tidak pernah benar-benar hidup. Tapi setiap malam, aku masih bisa merasakan bibirnya di leherku, napasnya di dadaku, dan ciumannya yang menghancurkan.
Labirin yang Tidak Pernah Mati
Bayi-bayi itu tumbuh dengan cepat. Mereka berlari di lorong apartemen, tertawa tanpa tahu apa yang tertinggal di dalam tubuh ibunya. Aku memandang mereka dari jauh, merasakan sesuatu yang aneh. Apakah ini cinta? Atau rasa bersalah?
Labirin itu tidak pernah mati. Ia bernafas di antara dinding-dinding kamar, di dalam tubuhku, dan di mata anak-anak yang membawa bagian dari dua lelaki berbeda.
Mungkin suatu hari, lorong ini akan lenyap. Tapi aku tahu, di Jakarta yang tidak pernah benar-benar tidur, lorong-lorong seperti ini akan selalu hidup.
Aku adalah perempuan dengan dua nama, dua lelaki, dan satu rahasia yang tidak pernah kubiarkan keluar.
Revolusi Tubuh
"Anak-anak itu milikku," gumamku pada setiap mimpi yang dihantarkan malam, pada gema-gema labirin dan pada siapa pun yang mendengarkan. "Revolusi pribadiku, tak peduli siapa bapak mereka."
Labirin ini dengan rahasia-rahasianya yang kulipat seperti bangau-bangau origami lalu kugantung di langit-langitnya seperti sebuah simfoni adalah aku, kami tidak butuh pengampunan.
***
Cerpen ini dalam versi yang agak berbeda dan juga judul yang berbeda, ditayangkan juga di sini: Lorong Dua Nama.
Catatan:
Latar belakang pembuatan cerpen ini dengan beberapa versi, yes, masi ada versi-versi lainnya karena gw memang sedang melatih lagi ketrampilan gw dalam menulis cerpen. Rasa-rasanya memang cerpen ini terlalu berat, untuk ditulis secara ringan. Tapi gw akan mencoba untuk menceritakannya dengan gaya yang lebih populer. Mungkin aja ceritanya bisa sangat berubah, disesuaikan dengan cara penceritaannya.
edit
No comments:
Post a Comment
Dear Readers, di blog ini, semua komentar yang masuk dimoderasi dulu. Jadi, jangan kaget kalau komentarmu 'menghilang', nggak langsung nongol, sebab musti saya baca dulu, renungkan dulu (cieeeh), baru deh boleh nongol di blog. Terima kasih sudah menyempatkan untuk berkomentar. :)