Yang Waras Dilarang Ngalah! Yang Diuji Bukan Ijazah Jokowi Tapi Kesabaran Kita!
Saturday, May 24, 2025
Katanya ini riset. Penelitian sosial kelas tinggi. Objeknya? Presiden Republik Indonesia ke-7. Metodenya? Tuduh dulu, verifikasi belakangan. Sumber data? Intuisi, praduga, feeling, katanya.
Berani-beraninya mereka menyebut ini uji akademik terhadap kebenaran. Tapi lucunya, semua hasil yang tidak sejalan dengan dugaan mereka langsung dibuang.
UGM menyatakan ijazahnya asli? Nggak mungkin, pasti UGM kongkalingkong. Pokoknya ga percaya. Rekan kuliah bersaksi bahwa Jokowi benar kuliah dan lulus bersama mereka? Orang-orang itu semua pembohong, jangan-jangan ijazah mereka juga palsu semua. Bareskrim Polri menyelidiki dan menyatakan tak ada unsur pidana? Parcok kok dipercaya, polisi kan bagian dari sistem yang korup.
Pokoknya: Semua institusi bisa dan harus salah—kecuali mereka. Semua saksi bisa dan pasti berbohong—kecuali praduga mereka sendiri. Ini mah bukan riset, ini lebih cocok disebut sebagai ritual menolak realitas.
Kalau yang kayak gini disebut penelitian, maka ini riset paling nyeleneh dalam sejarah. Karena dalam logika ilmiah, bukti selalu mendahului kesimpulan bukan sebaliknya lho ya... Tapi dalam logika mereka, kesimpulan ditentukan dulu—bukti tinggal dicari, atau dipaksa supaya cocok.
Model kayak gini tuh ada istilah ilmiahnya, yaitu cognitive dissonance—ketegangan mental ketika fakta tak sejalan dengan keyakinan pribadi. Dan sayangnya, sebagian orang memang lebih memilih memusuhi fakta ketimbang meninjau ulang keyakinannya.
Dalam dosis yang kronis, kondisi ini berubah menjadi delusional persistence—keyakinan yang begitu kuat, hingga semua bantahan dianggap bagian dari konspirasi. Termasuk saksi mata. Termasuk institusi pendidikan. Bahkan... waktu---percaya nggak percaya bahkan ada teori yang bilang Jokowi datang dari masa depan untuk mengubah ijazahnya di masa kini! Plis deh, bruh! 😅.
Ilmu pengetahuan sejatinya tak dibangun dari kecurigaan atau desas-desus. Dia justru tumbuh lewat bukti, keterbukaan, dan verifikasi. Tapi para "peneliti dadakan" ini hidup di alam semesta alternatif yang "agak laen"—tempat logika dibengkokkan dan viral lebih penting ketimbang valid.
Di sana, yang paling banyak dibagikan dianggap paling benar. Nggak percaya UGM, tapi percaya sama potongan video. Menolak percaya sama kesaksian kawan seangkatan, tapi yakin sama kesaksian akun anonim. Pendeknya, mereka ga akan percaya hukum kalau hukum itu ga sesuai dengan narasi yang mereka buat sendiri sejak awal.
Sejak Bareskrim menyatakan bahwa ijazah SMA dan Sarjana Jokowi asli sesuai dengan pernyataan UGM dan perbandingan dengan ijazah rekan-rekan seangkatan, sefakultas yang lulus pada waktu yang sama, dan dengan demikian menggugurkan laporan mereka, maka mereka sudah berteriak-terial minta perhatian dunia internesyenel.
Jadi, Sekjen PBB, harap siaga karena dilihat dari rasa percaya diri para “peneliti” ini, mungkin Sekjen PBB bakal dikirimi laporan penelitian mereka. Bukan soal perang atau krisis pangan, tapi suudzon ijazah palsu Presiden RI ke-7—yang katanya sedang mereka uji secara ilmiah.
Kalau bukan sinting, entah apalagi istilah yang tepat.
Kita sedang menghadapi bukan sekadar serangan personal, tapi distorsi realitas yang dikemas sebagai kebebasan berpendapat. Dan jika kita diam, lambat laun yang waras terdengar aneh, karena yang ngawur jadi biasa, udah dinormalisasi, kayak selama ini pepatah yang ga bijaksana menyatakan: Yang waras ngalah. Kalau yang waras selalu mengalah ya gini ini kejadiannya kan? Yang gila mengira panggung memang milik mereka dan kegilaan mereka adalah kewarasan universal.
Itu sebabnya yang waras dilarang ngalah, karena di tengah banjir informasi dan ledakan hoaks, akal sehat bukan cuma alat berpikir—tapi alat bertahan hidup.
Katakanlah ini adalah sebuah eksperimen sosial, maka dalam eksperimen ini publik adalah korban tak sadar. Kalau ini disebut riset, maka risetnya adalah: bagaimana cara merusak kepercayaan publik secara sistematis.
Dan pada akhirnya, kita bisa bertanya: Siapa sebenarnya yang sedang diuji? Jokowi? UGM? Atau justru... kesabaran bangsa ini menghadapi absurditas yang diklaim sebagai kebebasan berpikir?
Jadi, mari ramai-ramai kita gunakan Superpower kita untuk menggebuk musuh bersama ini, yaitu mereka yang berani-beraninya membengkok-bengkokkan fakta, kebenaran dan realita untuk kesenangan mereka sendiri! Kita punya kewajiban moral untuk membuat mereka kapok, demi masa depan yang lebih waras.
edit
No comments:
Post a Comment
Temans, di blog ini, semua komentar yang masuk dimoderasi dulu. Jadi, jangan kaget kalau komentarmu nggak langsung nongol, sebab musti saya baca dulu, renungkan dulu (cieeeh), baru deh nongol di blog. Terima kasih sudah menyempatkan untuk berkomentar, atau sekedar membaca curhatan-curhatan di sini. Mari kita bikin hidup selalu lebih hidup 💞